Site icon REFLEK-IF

ASN dalam Dilema Seretan Korupsi

ASN dalam dilema korupsi dan tekanan batin menghadapi keputusan etis

ASN dihadapkan pada tekanan moral saat harus memilih antara integritas atau loyalitas semu.

Sepanjang tahun 2023 ini, serasa tidak habisnya media memberitakan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik di pusat dan daerah. Selain itu, kita lihat juga bagaimana dominasi keterlibatan pejabat yang berlatar belakang kader partai politik sebagai aktor utama.

Analisis menunjukkan, pejabat dari kader partai politik sulit memisahkan kepentingan jabatan, pribadi, dan partai. Ini menciptakan konflik kepentingan .(Nikolaus Harbowo, 2021; Anisah Septi Arum, 2023)

ASN yang bekerja di bawah pejabat seperti itu sering ikut terseret dalam perilaku koruptif. ASN tersebut berada dalam dilema: menegakkan integritas di bawah tekanan pimpinan tanpa daya untuk melawan atau menghindar. Akibatnya, dalam kondisi itu, banyak yang merasa tidak aman, terancam, dan tak terlindungi. Jaminan keamanan dalam pemberantasan korupsi menjadi kebutuhan mendesak bagi mereka.

Motivasi Tindak Pidana Korupsi

ASN dan pejabat pimpinannya di atas sangat rentan untuk termotivasi melakukan korupsi.

Jack Bologna memperkenalkan teori GONE sebagai model untuk memahami motivasi korupsi. Model ini terdiri dari empat unsur: Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan). KPK memformulasikannya teori tersebut sebagai dua hal yaitu serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri pemimpin yang serakah. Dengan kata lain, keserakahan bersama dengan kesempatan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi.

Sementara itu terlihat juga, Pemerintah Indonesia gencar menyempurnakan reformasi birokrasi dan manajemen aparatur. Tujuannya: membangun birokrasi digital dan pelayanan publik berkelas dunia.

Tujuannya adalah untuk membentuk pemerintahan digital dengan aparatur dan layanan publik yang berkelas dunia. Presiden Joko Widodo berharap digitalisasi birokrasi mampu menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Namun demikian, meski reformasi birokrasi terus didorong, Indonesia harus menelan pil pahit di awal 2023. Skor persepsi korupsi turun 4 poin, dari 38 (2021) menjadi 34 (2022), menurut Transparency International.

Nilai itu tak terbantahkan. Bahkan, sepanjang awal 2023, banyak pejabat publik dari kader partai politik dan ASN tersandung kasus korupsi.

Solusi untuk pemimpin Indonesia sudah pernah dibahas dalam artikel sebelumnya berjudul “Mencari Pemimpin yang Selesai dengan Dirinya Sendiri” (Taufiq A Gani, 28 Maret 2023). Namun demikian, solusi yang ditawarkan dalam artikel tersebut masih sangat berorientasi atau mengandalkan pembentukan karakter diri sendiri atau kepribadian calon pemimpin untuk berintegritas.

Dilema ASN

Motivasi artikel ini muncul karena solusi sebelumnya dirasa berat bagi ASN, yaitu terus berada dalam dilema: menegakkan integritas di bawah bayang-bayang tekanan pimpinan tanpa daya untuk melawan, menghindar, atau mencegah. Dalam kondisi ini, banyak dari mereka merasa tidak aman, terancam, dan tak terlindungi. Oleh karena itu, dibutuhkan jaminan keamanan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan kerja.

ASN terus berada dalam dilema: menegakkan integritas di bawah bayang-bayang tekanan pimpinan tanpa daya untuk melawan, menghindar, atau mencegah. Mereka tidak mampu melakukan perlawanan karena merasa tidak aman, terancam dan terlindungi. Oleh karena itu, jaminan keamanan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam lingkungannya diperlukan.

ASN perempuan berperan aktif dalam sistem pengawasan dan pencegahan korupsi.

ASN bisa saja berada dalam dilema karena pimpinannya. Pimpinan ini bisa berasal dari ASN sendiri, TNI/Polri, atau kader partai politik yang diangkat sesuai ketentuan. Namun kali ini, artikel ini berfokus pada pimpinan yang berasal dari kader partai politik. Alasannya adalah karena partai politik kurang tersentuh agenda Reformasi Birokrasi yang sedang dijalankan pemerintah untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang bersih, akuntabel dan bebas korupsi.

Namun kali ini, artikel ini berfokus pada pimpinan yang berasal dari kader partai politik. Alasannya adalah karena partai politik kurang tersentuh agenda Reformasi Birokrasi yang sedang dijalankan pemerintah untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang bersih, akuntabel dan bebas korupsi.

Baca juga: “Naik Kelas”, Metafora Praktik Korupsi di Indonesia

Artikel ini juga bertujuan menelaah peran pemerintah dalam menetapkan regulasi yang mendorong partai politik menerapkan birokrasi bersih dan akuntabel. Ini memberi ruang bagi kader partai yang jadi pimpinan birokrasi untuk menunjukkan integritasnya.

ASN Berakhlak Dan Perilaku Korupsi

BerAKHLAK adalah nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh ASN, yaitu Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif. Nilai ini adalah sesuai dengan UU No. 5/2014 tentang ASN yang saat ini sudah dicabut dan diganti dengan yang baru yaitu UU No. 20/2023. Tulisan ini akan banyak membahas salah satu nilai yaitu akuntabel. Maksud dari nilai ini tidak lain adalah perilaku yang harus mereka wujudkan dengan mempertahankan integritas dan bebas dari konflik kepentingan.

Mereka harus menjadi garda terdepan dalam mendukung reformasi birokrasi dan membangun pemerintahan yang bersih dan efisien. Namun menjadi pertanyaan adalah bagaimana mereka dapat mempertahankan dua unsur utama di atas (integritas dan bebas dari konflik kepentingan) saat berada dalam situasi tekanan dari pimpinan.

Untuk membantu keluar dalam situasi yang sulit tersebut, ASN perlu dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang batasan perilaku yang dapat diterima. Mereka juga perlu dilatih untuk menghadapi situasi yang mengandung risiko konflik kepentingan atau tindakan koruptif. Dalam mengatasi tekanan dari pimpinan dan menjaga integritasnya, mereka seharusnya dapat berpartisipasi memberantas korupsi dengan cara melaporkan indikasi korupsi tapi dengan jaminan keamanan dan terlindungi secara hukum.

Whistle Blowing: Jaminan Perlindungan dan Keamanan Pelapor

Sistem pelaporan dengan jaminan perlindungan dan keamanan ini disebut whistle blowing. Di Indonesia sistem ini merupakan implementasi dari UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (kemudian diubah dengan UU No 31/2014). Selanjutnya istilah whistle blower system untuk pencegahan korupsi tersebut dalam Instruksi Presiden RI No. 17/2011 tentang Aksi Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi.

Dengan perlindungan ini, jika ASN berada dalam situasi sulit seperti di atas, melalui whistle blower system, mereka dapat melaporkan tindakan koruptif tanpa takut. Sistem pengaduan internal yang aman dan rahasia dapat memberikan ruang bagi mereka untuk memberikan informasi tanpa mengkhawatirkan keamanan pekerjaannya. Ini menciptakan lingkungan yang mendukung integritas dan memberikan jaminan bahwa tindakan yang dilaporkan akan diinvestigasi secara adil.

Adelia Nur Hasanah, Maria, dan Anggeraini Oktarida (2023) melakukan penelitian penerapan whistleblowing pada pencegahan fraud dalam pengadaan melalui E-procurement di pemerintah Kabupaten Banyuasin. Dengan metrik yang digunakan, mereka menemukan bahwa whistleblowing memberikan kontribusi signifikan (sebesar 46,87%) terhadap pencegahan fraud di pemerintah Kabupaten Banyuasin.

Namun demikian, Zayanti Mandasari (2020) dalam artikel yang dipublikasikan di website ombudsman RI menyebutkan bahwa walau banyak instansi pemerintah yang sudah menerapkannya , namun belum semua instansi penyelenggara pelayanan publik sadar betul terkait pentingnya sistem ini. Masih terlihat penerapannya hanya sebagai \”penggugur kewajiban\”, dalam upaya mengejar predikat WBK (Wilayah Bebas dari Korupsi) dan WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani).

Demikian juga masih disayangkan beberapa kasus yang dilaporkan oleh whistle blower seperti kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Citemu, Kecamatan Mundu, Cirebon, Tahun Anggaran 2018-2020 yang menyeret pelapor.

Kita mengharapkan ke depan keadaan seperti ini dapat diperbaiki, sehingga ASN dapat tetap keluar dari tekanan dan menegakkan integritasnya.

Reformasi Birokrasi Dan Partai Politik

Pejabat publik dari kader partai politik adalah orang baru yang ditempatkan dalam birokrasi instansi pemerintah. Sebagai orang baru, pejabat tersebut bisa jadi belum menyatu secara maksimal dengan nilai-nilai integritas yang seharusnya terbangun dalam reformasi birokrasi. Apalagi konsolidasi demokrasi belum menampakkan praktik yang baik untuk bangsa Indonesia.

Politik uang yang menyebabkan tingginya biaya yang diperlukan bagi pencalonan sebagai peserta Pemilu menyebabkan kader yang lolos sebagai pejabat publik kehilangan integritas dalam pengelolaan keuangan selama periode pemerintahannya. Kader tersebut mengambil jalan pintas dengan penyalahgunaan kekuasaan, menjalankan kepemimpinan dengan pendekatan politik kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri.

Dalam Siaran Pers 03/HM.01.04/KPK/56/05/2022 disebutkan bahwa berdasarkan data hingga April 2022, KPK telah menangani 310 perkara yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, 22 perkara yang melibatkan Gubernur, serta 148 perkara yang Walikota/Bupati dan Wakil. Angka tersebut menyumbang 35 persen dari keseluruhan jumlah perkara. Angka ini harus menjadi perhatian dalam kerangka pelaksanaan konsolidasi demokrasi Indonesia.

Kita mengharapkan pimpinan partai politik tetap mengedepankan pembinaan integritas terhadap kadernya dalam berjuang mendapatkan kursi jabatan di parlemen dan eksekutif. Di samping itu pesan-pesan reformasi birokrasi untuk membentuk birokrasi pemerintahan yang bersih dan berintegritas tidak tercapai.

Reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan diharapkan juga membina partai politik dalam pengelolaan dan pelaporan keuangannya. Undang Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Pasal 34 menyebutkan sumber keuangan partai politik ada tiga, yaitu (i) iuran anggota, (ii) sumbangan yang sah menurut hukum, (iii) bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sayangnya sampai saat ini kewajiban pelaporan keuangan kepada BPK hanya untuk penerimaan dari APBN/APBD (diatur dengan PP No 5/2009 yang mengalami perubahan dua kali yaitu dengan PP No 1/2018 dan PP No 5/2009).

Padahal laporan penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukkan bahwa bantuan keuangan dari negara hanya menutupi kurang dari 5% kebutuhan partai politik. Dari penelitian ini terindikasi kuat, sumber pembiayaan partai politik adalah dari sumbangan berbagai pihak. Memang benar menurut undang-undang ada kewajiban untuk membuat pembukuan penerimaan, tapi belum ada peraturan teknis di bawah undang undang di atas yang mengatur pemeriksaan atas laporan tersebut.

Sistem Integritas Partai Politik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2018 mencoba menyusun Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang salah satu komponennya terkait dengan keuangan partai politik. Namun sayang SIPP ini tidak terimplementasi dengan baik karena regulasi kebijakan dan teknisnya tidak mendukung.

Dalam diskusi implementasi aksi pencegahan korupsi di tubuh partai politik (27/01/23), Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Ditjen Polpum) Kemendagri bapak Bahtiar menawarkan solusi: \”Daripada mengubah PP, lebih baik UU Parpol yang harus kita benahi dengan mencantumkan SIPP sebagai dasar hukum implementasinya\”.

Sebagai kesimpulan, dua solusi sudah dibahas dalam artikel ini, yaitu (i) whistleblower system – sistem pelaporan tindak korupsi yang aman dan menjamin perlindungan bagi ASN (pelapor) dan (ii) perbaikan regulasi untuk sistem pelaporan dan audit keuangan partai politik yang mencakup semua pemasukan dan pengeluaran, bukan hanya dari APBN/APBD.

Kedua program tersebut adalah bagian dari Reformasi Birokrasi yang sedang dijalakan oleh Pemerintah Indonesia.

Dari pembahasan terlihat bahwa dua solusi tersebut sebenarnya sudah banyak diungkapkan oleh beberapa pihak, artikel ini mengangkat kembali pentingnya solusi tersebut untuk dijalankan. Ini semua untuk melindungi ASN dalam bayang-bayang korupsi yang dilakukan oleh pimpinannya.

Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Exit mobile version