Site icon REFLEK-IF

Empat Pulau Aceh Lepas: Ancaman Ruang Hidup

Nelayan Aceh menuju pulau sengketa, ilustrasi ancaman ketahanan daerah akibat lepasnya Empat Pulau Aceh

Pulau-pulau kecil di Aceh bukan sekadar daratan, tetapi bagian penting dari ketahanan wilayah, ruang hidup, dan kedaulatan ekonomi masyarakat maritim.

Lepasnya empat pulau Aceh telah memicu tegangnya kembali hubungan Aceh dan Pusat. Kasus ini menyadarkan kita bahwa problematika batas wilayah di Aceh — dan banyak daerah lain di Indonesia — bukan sekadar urusan teknis birokrasi dan penentuan koordinat. Sebaliknya, ada dimensi ruang hidup, sejarah, dan identitas geo-historis yang ikut dipertaruhkan dalam sengketa semacam ini.

Tulisan ini merupakan pengembangan refleksi dari artikel Geostrategi Aceh: Ruang Hidup yang Menyusut dan kasus terkini administrasi empat pulau di Aceh Singkil.

Ruang Hidup Lebih dari Sekadar Peta

Ruang hidup (Lebensraum) Aceh tidak sekadar menyangkut daratan dan lautan. Ia merupakan pertautan antara adat, sejarah Kesultanan, legitimasi ulayat, sumber penghidupan maritim, hingga relasi sosial-ekonomi masyarakatnya selama ratusan tahun. Ketika empat pulau ini jatuh ke Sumut, yang direduksi bukan hanya wilayah administratif, melainkan juga bagian penting dari identitas Aceh sebagai entitas maritim.

Sayangnya, pendekatan negara modern sering mengabaikan kompleksitas ruang hidup historis ini. Padahal, dalam setiap pulau kecil itu terkandung dimensi geo-historis yang penting sebagai bukti eksistensi kedaulatan. Oleh sebab itu, aspek geo-historis tidak boleh diabaikan dalam menentukan batas wilayah.

Geostrategi Aceh yang Kian Menyempit

Sejak masa kejayaannya di bawah Sultan Iskandar Muda, Aceh pernah menjadi simpul perdagangan global dan kekuatan maritim regional. Namun kini, ruang hidup strategis itu perlahan menyusut.

Lebih jauh, Aceh kini lebih bergantung pada jalur logistik eksternal seperti Medan, Penang, bahkan Jakarta. Infrastruktur pelabuhan dan logistik belum menopang kedaulatan ekonomi daerah secara optimal. Selain itu, digitalisasi ekonomi belum sepenuhnya mendorong kemandirian ekonomi maritim Aceh. Ketergantungan fiskal kepada pusat pun masih mendominasi, bahkan lebih dari 70 persen anggaran daerah bersumber dari dana pusat.

Dalam situasi ketergantungan ini, kehilangan empat pulau bukan sekadar kehilangan lahan. Sebaliknya, ia juga bermakna kehilangan simbol maritim yang selama ini menjadi bagian penting bargaining power Aceh di tingkat nasional.

Baca juga Marthunis dan Mimpi Birokrasi Bersih dari Aceh

Pulau Kecil: Buffer Geostrategis Maritim

Pulau-pulau kecil yang menjadi sumber konflik ini bukan sekadar daratan kecil di tengah laut. Dalam konteks geopolitik Indo-Pasifik, pulau-pulau kecil merupakan bagian dari:

  • Buffer strategis pertahanan nasional;
  • Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan pengelolaan sumber daya laut;
  • Simbol eksistensi kedaulatan maritim.

Ketika pemetaan batas administratif gagal membaca fungsi strategis ini, kita membuka risiko krisis kedaulatan yang lebih besar — baik secara psikologis, ekonomi, maupun pertahanan nasional.

Baca juga Merespons Eskalasi Geoekonomi Digital

Rapuhnya Ketahanan Informasi Sejarah Aceh

Salah satu akar masalah yang kerap diabaikan adalah lemahnya ketahanan informasi budaya-historis Aceh. Sengketa batas wilayah tidak hanya ditentukan oleh peta terkini, tetapi juga oleh kekuatan dokumentasi sejarah, arsip adat, peta hukum ulayat, serta rekam jejak administrasi masa lalu.

Sayangnya, banyak dokumen penting ini selama ini tidak terkelola dengan baik. Padahal, Aceh memiliki Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Namun, PDIA kini justru mengalami ketidakjelasan kelembagaan. Padahal, PDIA dapat menjadi pilar strategis dalam penguatan narasi sejarah Aceh.

Membangun Infrastruktur Pengetahuan Geo-Historis Aceh

Ke depan, Aceh harus membangun Geo-Historical Knowledge Infrastructure yang mampu menopang ketahanan ruang hidupnya:

  • Digitalisasi dokumen historis PDIA: pengarsipan sistematis peta kolonial, arsip kesultanan, hingga dokumen ulayat.
  • Georeferensi peta historis: pengolahan GIS atas peta-peta lama untuk membangun narasi visual ruang hidup Aceh.
  • Integrasi data spasial: penguatan interoperabilitas data dengan sistem nasional seperti BIG, ATR/BPN, Kemendagri.
  • Perpustakaan Aceh sebagai hub memori kolektif: pusat dokumentasi digital terbuka bagi publik dan pengambil kebijakan.
  • Universitas Syiah Kuala (USK) sebagai pusat riset geo-historis: mengonsolidasikan kapasitas akademik Aceh dalam rekonstruksi sejarah dan perbatasan.

Dengan infrastruktur pengetahuan seperti ini, Aceh tidak sekadar membangun dokumentasi. Lebih dari itu, Aceh akan membangun bargaining power berbasis data dalam setiap perundingan batas wilayah atau hak adat di masa depan.

Baca juga Data Berkualitas untuk Reformasi Birokrasi

Tantangan: Leadership Daerah Masih Lemah

Persoalan utama Aceh hari ini bukan terletak pada ketiadaan teknologi atau sumber daya manusia. Sebaliknya, akar masalahnya ada pada lemahnya komitmen elite daerah dalam memandang penguasaan data sebagai bagian dari ketahanan daerah.

Integrasi antarinstansi masih berjalan sektoral. Kesadaran akan pentingnya soft power berbasis data pun masih rendah. Akibatnya, penyelamatan PDIA maupun digitalisasi arsip historis sering dianggap sebagai agenda pinggiran, bukan prioritas pembangunan strategis daerah.

Penutup: Dari Luka Administrasi ke Ketahanan Nasional

Dengan demikian, kasus lepasnya empat pulau Aceh ini seharusnya menjadi peringatan nasional. Bahwa di balik sengketa batas administratif, tersembunyi persoalan ketahanan daerah berbasis data, sejarah, dan identitas.

Negara modern yang kuat bukan hanya yang mampu menggambar batas peta. Tetapi, lebih dari itu, negara harus mampu menegakkan kedaulatan identitas ruang hidup warganya berdasarkan legitimasi historis yang sahih.

Aceh harus segera menyelamatkan ruang hidupnya. Bukan semata agar peta administrasinya utuh, melainkan agar ingatan kolektifnya tetap hidup sebagai bagian kokoh dari ketahanan nasional Indonesia.

Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Exit mobile version