Site icon REFLEK-IF

Revisi UU TNI, Membangun Kepemimpinan Nasional

Seorang perwira tinggi TNI menyampaikan pidato dalam upacara resmi, simbol kepemimpinan nasional yang berbasis disiplin dan dedikasi.

Revisi UU TNI membuka peluang kepemimpinan nasional yang lebih sinergis—menghadirkan perwira TNI ke dalam arena pengambilan kebijakan strategis.

Revisi UU TNI yang disahkan (20/03/2025) menjadi topik perbincangan yang semakin hangat, terutama di kalangan akademisi dan masyarakat sipil. Dalam diskusi yang saya ikuti bersama para akademisi dan pegiat LSM, terdapat beragam pandangan mengenai dampak regulasi ini terhadap tata kelola kepemimpinan nasional. Kekhawatiran utama berkisar pada potensi meningkatnya peran militer dalam birokrasi sipil, sementara di sisi lain, ada pula urgensi untuk mereformasi kepemimpinan nasional agar lebih integratif.

Teori klasik Huntington dan Janowitz menekankan pemisahan sipil-militer untuk menjaga supremasi sipil. Namun, Rebecca L. Schiff dalam Concordance Theory menunjukkan bahwa hubungan sipil-militer yang stabil bukan sekadar soal pemisahan, tetapi kesepahaman dan kerja sama antara militer, elite politik, dan masyarakat.

Kolaborasi antara sipil dan militer menjadi kebutuhan dalam menghadapi tantangan strategis modern, seperti keamanan siber dan krisis geopolitik. Banyak negara telah mengadopsi model yang memungkinkan integrasi pejabat sipil dan militer dalam perumusan kebijakan strategis, tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Salah satu contohnya adalah National Security Council (NSC) di berbagai negara, yang memungkinkan sinergi lintas sektor dalam menjaga stabilitas nasional dan merespons ancaman multidimensi secara lebih efektif.

Hal tersebutlah yang memotivasi saya berpendapat bahwa bukan hanya batasan peran militer yang perlu diperjelas, tetapi juga bagaimana membangun kepemimpinan nasional yang inklusif, menghapus dikotomi sipil-militer, dan memperkuat kompetensi nasional melalui integrasi pendidikan serta pelatihan kepemimpinan.

Seleksi Terbuka dan Berbasis Kompetensi: Kunci Rekrutmen yang Adil

Revisi UU TNI yang baru memungkinkan anggota TNI aktif menjabat di 14 kementerian/lembaga, namun kebijakan ini tidak boleh hanya menjadi solusi bagi perwira tanpa jabatan aktif (bangku panjang). Setiap penempatan harus berbasis seleksi terbuka dan kompetensi, tidak boleh penunjukan langsung.

Untuk itu, instansi yang menerima personel militer perlu melakukan analisis jabatan yang akurat, guna memastikan individu yang ditempatkan benar-benar memiliki keahlian sesuai kebutuhan organisasi. Penunjukan yang tidak melalui seleksi transparan berpotensi mengabaikan prinsip meritokrasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap profesionalisme birokrasi.

Sebagai contoh, dalam bidang keamanan dan pertahanan siber, seorang prajurit TNI dengan keahlian Command and Control (C2) dapat memberikan kontribusi strategis dalam perumusan kebijakan nasional. Namun, untuk jabatan administratif atau teknis yang tidak berkaitan dengan pertahanan, relevansi penempatan personel militer harus dipertimbangkan lebih cermat.

Prinsip utama yang harus ditegakkan adalah seleksi berbasis kompetensi. Apa pun jabatannya, penempatan harus terbuka bagi semua kalangan yang memenuhi syarat administratif dan profesional, bukan hanya bagi perwira aktif semata.

Pentingnya C2 dalam Jabatan Strategis

C2 adalah elemen kunci dalam kepemimpinan strategis, terutama di lingkungan yang membutuhkan respons cepat, koordinasi efektif, dan pengambilan keputusan berbasis data. Konsep ini tidak hanya relevan dalam konteks militer, tetapi juga dapat diterapkan secara luas dalam manajemen krisis, keamanan nasional, serta pengelolaan birokrasi modern.

Dalam pertahanan siber, C2 memungkinkan pengelolaan ancaman digital secara real-time dengan koordinasi lintas sektor yang efektif untuk merespons insiden nasional. Dalam manajemen krisis, seperti penanggulangan bencana alam atau pandemi, prinsip ini mempercepat alokasi sumber daya dan meningkatkan koordinasi antar lembaga.

Dalam tata kelola pemerintahan, C2 membantu mempercepat pengambilan keputusan. Terutama pada kebijakan lintas sektor yang memerlukan koordinasi dan analisis situasional.

Sementara itu, dalam pengelolaan pemerintahan, C2 dapat meningkatkan efisiensi dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kebijakan yang membutuhkan integrasi lintas sektor dan analisis situasional yang kompleks.

Melalui penguasaan prinsip C2, pemimpin nasional dapat membangun sistem pemerintahan yang lebih adaptif dan tangguh dalam menghadapi tantangan global yang semakin dinamis.

Seiring dengan perkembangan teknologi dalam dunia militer, konsep C2 terus berkembang menjadi C5ISR (Command, Control, Communications, Computers, Cyber, Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance). C5ISR menggabungkan elemen komunikasi, komputasi, dan siber untuk mendukung pengambilan keputusan yang lebih cepat dan berbasis data dalam berbagai sektor strategis. Implikasi dan penerapan C5ISR akan saya bahas lebih lanjut dalam kesempatan terpisah.

Model Pendidikan Lintas Sektor untuk Kepemimpinan Nasional

Pengalaman NWC di AS dan IDSS di Singapura menunjukkan satu hal penting: kepemimpinan nasional yang kuat perlu ditopang oleh pendidikan lintas sektor.

NWC mengembangkan strategi keamanan nasional dengan integrasi 59% perwira militer dan 41% pejabat sipil, memungkinkan sinergi dalam pengambilan keputusan strategis. Sementara itu, IDSS di Nanyang Technological University (NTU) Singapura menekankan pentingnya kolaborasi antara militer, birokrasi sipil, dan diplomasi internasional dalam membangun kepemimpinan yang solid.Pengalaman NWC di AS dan IDSS di Singapura menunjukkan satu hal penting: kepemimpinan nasional yang kuat perlu ditopang oleh pendidikan lintas sektor.

Model ini bisa diadaptasi di Indonesia dengan membuka akses pelatihan lintas sektor. Pejabat sipil dan militer perlu saling belajar untuk membangun kepemimpinan yang inklusif.

Sebagai langkah konkret, pendidikan kepemimpinan nasional dapat diintegrasikan melalui:

  • Program Kepemimpinan Nasional (PKN) LAN, untuk membentuk pemimpin sipil dalam tata kelola pemerintahan berbasis kepemimpinan strategis.
  • PPRA/PPSA Lemhannas, yang mempertemukan pejabat sipil, militer, dan sektor lainnya dalam kajian ketahanan nasional..
  • Program Studi di Universitas Pertahanan, yang menawarkan perspektif pertahanan dan keamanan bagi pejabat sipil maupun militer.

Reformasi regulasi yang tepat dapat mendorong integrasi kepemimpinan sipil-militer. Pendekatan ini membantu membangun tata kelola nasional yang adaptif tanpa mengorbankan demokrasi dan supremasi sipil.

Pendekatan ini akan mendorong kepemimpinan nasional yang lebih inklusif, lintas sektoral, dan berbasis kompetensi, memungkinkan sinergi antara sipil dan militer dalam perumusan kebijakan strategis yang lebih holistik dan adaptif.

Baca juga Sipil dan Militer Dalam Penjagaan Ruang Siber

Peran Institusi dalam Merumuskan Model Kepemimpinan Nasional

Agar sistem kepemimpinan nasional yang terintegrasi ini dapat diwujudkan, berbagai institusi harus berperan aktif dalam perumusannya. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) bertanggung jawab dalam merancang kebijakan sinergi antara ASN, POLRI dan TNI dalam pendidikan kepemimpinan berbasis kompetensi. Badan Kepegawaian Negara (BKN) perlu menyusun analisis jabatan dan sistem rekrutmen berbasis kompetensi agar penempatan pejabat sipil dan militer dilakukan sesuai kebutuhan nyata. Lemhannas sebagai institusi strategis harus mengembangkan kurikulum kepemimpinan lintas sektor yang mencakup aspek pertahanan, geopolitik, tata kelola pemerintahan, dan manajemen krisis. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memiliki peran dalam merancang kebijakan pendidikan bagi prajurit yang ditempatkan di instansi sipil, sehingga mereka memiliki pemahaman yang memadai mengenai tata kelola pemerintahan. Sementara itu, TNI/POLRI harus memastikan bahwa personilnya yang dikirim ke lingkungan sipil telah melalui pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan sektor pemerintahan.

Tantangan Implementasi dan Rekomendasi Kebijakan

Implementasi kepemimpinan nasional lintas sektor menghadapi banyak tantangan. Di antaranya adalah resistensi birokrasi sipil, perbedaan doktrin antara ASN, POLRI, dan TNI, serta keterbatasan regulasi yang membatasi mobilitas personel.

UU TNI, UU Kepolisian, dan UU ASN saat ini mengatur secara ketat pergerakan sumber daya manusia lintas institusi, sehingga diperlukan harmonisasi kebijakan agar integrasi kepemimpinan dapat berjalan efektif tanpa mengabaikan profesionalisme di masing-masing sektor.

Sebagai langkah konkret, perlu dilakukan revisi regulasi untuk memberikan dasar hukum yang jelas bagi kepemimpinan lintas sektor. Kemenpan-RB dan BKN harus merancang skema rekrutmen berbasis kompetensi agar ASN, anggota POLRI, dan TNI dapat ditempatkan sesuai keahliannya di berbagai sektor pemerintahan. Sementara itu, Lemhannas, LAN, POLRI, dan Kemenhan perlu memperkuat sinergi dalam kurikulum pendidikan kepemimpinan, dengan mengakomodasi wawasan strategis terkait tata kelola pemerintahan, pertahanan negara, dan pembangunan nasional.

Pendekatan ini memungkinkan terbentuknya sistem kepemimpinan nasional yang lebih adaptif dan kolaboratif, serta menjamin sinergi lintas sektor yang berkelanjutan dan efektif.

Penutup: Membangun Kepemimpinan Nasional yang Adaptif

Model kepemimpinan lintas sektor memberikan kesempatan bagi pejabat pemerintahan untuk memahami perspektif sipil-militer secara seimbang, tanpa terjebak dalam bias institusional yang dapat menghambat pengambilan kebijakan. Jika diterapkan dengan baik, pendekatan ini akan menghasilkan pemimpin nasional yang tegas, disiplin, serta cakap dalam tata kelola pemerintahan yang demokratis dan transparan.

Model ini butuh pengawasan ketat. Tujuannya agar tak terjadi dominasi militer dalam birokrasi atau melemahnya peran sipil dalam pertahanan nasional.

Harmonisasi UU TNI, POLRI, dan ASN adalah langkah strategis. Ini penting agar pertukaran kepemimpinan lintas sektor memiliki dasar hukum yang jelas dan tetap profesional.

Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, sinergi antara sipil dan militer adalah kunci dalam melahirkan kebijakan yang lebih solid, inovatif, dan adaptif. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat membangun kepemimpinan nasional yang kuat dalam pertahanan sekaligus unggul dalam tata kelola pemerintahan modern.

Ke depan, sinergi ini perlu diwujudkan melalui rekrutmen berbasis kompetensi. Pendidikan dan pelatihan lintas sektor juga harus diintegrasikan untuk membangun kepemimpinan nasional yang profesional dan berkelanjutan.

Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Exit mobile version