Menulis di era sekarang ini bisa dilakukan tanpa berpikir. Bahkan tanpa membaca. Cukup ketik prompt ke mesin, dan keluarlah paragraf-paragraf yang rapi, masuk akal, dan terdengar pintar.
Kita sedang menyaksikan satu hal luar biasa dalam sejarah bahasa: bahwa bahasa kini telah menjadi sistem yang deterministik, dapat diprediksi dan dibentuk ulang oleh model statistik canggih. Dan kemajuan ini bukan sihir, tapi hasil kerja panjang para ahli linguistik dan informatika.
Namun di sinilah pertanyaannya menggigit: Kalau semua bisa ditulis oleh mesin, apa lagi yang tersisa untuk manusia?
Saya tidak menolak otomatisasi. Justru sebaliknya, saya percaya bahwa banyak aspek teknis dalam menulis—dari entri data hingga penyuntingan awal, termasuk pengecekan kualitas—sudah selayaknya dibantu mesin. Tapi pertanyaan kita hari ini bukan soal apakah mesin bisa menulis. Pertanyaannya: apakah kita masih berpikir saat menulis?
Menulis tidak sekadar menyusun kalimat. Ia adalah ekspresi dari higher-order thinking: menghubungkan konteks, menimbang nilai, menyaring kompleksitas menjadi makna. Mesin bisa mengulang, meramu, meniru. Tapi hanya manusia yang bisa bertanya: Mengapa saya menulis ini? Untuk siapa? Apa akibatnya?
Kita sedang memasuki era ketika semua yang mudah akan diambil alih oleh algoritma. Maka justru di sinilah pentingnya membedakan antara proses mekanis dan proses reflektif. Bahasa boleh ditiru, tetapi kesadaran tak bisa disimulasikan. Struktur bisa diajarkan, tapi pertanggungjawaban makna hanya bisa lahir dari pikiran yang berpijak pada nilai.
Karena itu, menulis tetap perlu berpikir. Bukan berpikir mekanistik, bukan berpikir cepat, tapi berpikir yang bertanya ulang. Berpikir dalam konteks. Berpikir dengan keberanian untuk mengambil sikap.
Hal yang sama juga berlaku dalam dunia penyuntingan.
Dalam dunia tulis-menulis, banyak orang kini bertanya: jika variasi struktur kalimat, transisi antar paragraf, keterbacaan, hingga koherensi bisa dinilai oleh kecerdasan buatan secara presisi—apakah kita masih membutuhkan editor?
Pertanyaan itu sah. Karena memang benar: dari sisi teknis, hampir semua aspek mekanis dalam tulisan kini bisa dikalkulasi. Grammar checker, style consistency, bahkan deteksi redundansi sudah dilayani mesin dengan kecepatan dan akurasi yang melampaui editor manusia.
Namun di sinilah letak perbedaannya: kecerdasan buatan bisa menilai bentuk, tapi belum bisa membaca niat. Ia tahu kalimat mana yang efektif, tapi tak tahu mana yang jujur. Ia bisa mengenali metafora, tapi tak bisa merasakan batin yang melahirkannya.
Di situlah kualitas tulisan tak lagi soal keterbacaan atau kelancaran semata, tetapi soal keberanian ide, keutuhan makna, dan tanggung jawab sosial penulis.
Tulisan yang bermutu tinggi bukan hanya kumpulan kalimat baik—ia adalah produk dari proses berpikir yang jujur, kontekstual, dan tak jarang berisiko.
Editor manusia memahami ini karena ia ikut membaca intensi, membedah kegelisahan, dan mempertanyakan sudut pandang. Editor bukan hanya penjaga tata bahasa, melainkan mitra berpikir. Dan di zaman ketika mesin mengambil alih aspek teknis, peran ini justru menjadi lebih penting—bukan hilang.
Jadi bukan editor yang harus digantikan, tetapi fungsi editorial yang harus ditransformasi: dari teknis menjadi kuratorial, dari merapikan kalimat menjadi menyaring makna. Sama seperti menulis itu sendiri—yang dulu sekadar keterampilan menyusun kalimat, kini menjadi seni merawat kesadaran di tengah badai otomatisasi.
Kemudahan yang ditawarkan kecerdasan buatan dalam menulis—dari menyusun struktur hingga mengecek tata bahasa—adalah kemajuan yang tak terbantahkan. Tapi kemajuan itu jugalah yang membuat kita harus lebih tegas menjaga ruang berpikir manusia.
Saya pernah menulis bahwa “Cerdas Tanpa Berpikir” adalah gejala zaman. Tapi hari ini, kita menyaksikan gejala yang lebih halus: tulisan tanpa pergulatan. Ia hadir dalam bentuk opini yang datar, artikel yang steril, laporan yang sempurna tapi tak punya jiwa. Semua tampak baik—tapi tidak menggerakkan.
Dan inilah yang membahayakan: ketika tulisan berhenti menjadi alat berpikir, ia hanya jadi ornamen. Sekadar teks yang bisa diklik, dibagikan, tapi tak menyentuh apa pun. Ia bukan jendela kesadaran, tapi hanya cermin dari kebisingan.
Saya percaya, teknologi harus kita gunakan. Tapi kita juga harus tahu: semakin banyak yang bisa diotomatisasi, semakin penting berpikir yang tidak bisa. Justru karena bahasa kini makin bisa direplikasi, maka nilai tertinggi dari tulisan bukan lagi pada bentuknya, tapi pada kesadaran yang melahirkannya.
Tulisan yang bertahan bukan yang paling cepat dibuat, tapi yang paling dalam menggali. Karena hanya tulisan yang ditulis dengan berpikir—dalam arti yang sejati—yang akan mewakili keberadaan kita sebagai manusia.
Menulis hari ini bisa dibantu mesin. Tapi mempertanyakan niat, merawat makna, dan bertanggung jawab atas tulisan—itu tugas manusia.