Site icon REFLEK-IF

Korupsi karena Presiden atau Pilihan Kita Sendiri?

Ilustrasi pejabat birokrasi menghadapi tekanan dalam kasus korupsi di Indonesia.

Korupsi di Indonesia sering lahir dari tekanan sistem dan dilema etika, bukan hanya karena niat jahat individu.

Pertanyaan sederhana sering kali justru menggugah kesadaran terdalam: siapa sesungguhnya yang paling bertanggung jawab atas maraknya korupsi di Indonesia? Itulah yang dilontarkan seorang kolega dalam grup WhatsApp yang saya ikuti beberapa hari lalu—dan seperti biasa, jawaban yang muncul lebih mencerminkan keresahan publik daripada kedalaman analisis.

Salah Presiden—Apakah Terlalu Sederhana?

Mayoritas suara mengarah pada para pemimpin. Lebih spesifik lagi—presiden. Mereka menyodorkan data KPK, deretan menteri yang terseret kasus, hingga grafik kenaikan angka korupsi dari rezim ke rezim. Narasi dominannya tegas: kerusakan dimulai dari atas.

Namun, pandangan semacam ini menyederhanakan persoalan yang jauh lebih kompleks. Dalam kerangka Theory of Planned Behavior (Icek Ajzen, 1991), perilaku korupsi bukan hanya persoalan niat individu, tetapi juga dipengaruhi oleh norma sosial, tekanan lingkungan, dan persepsi tentang peluang serta pembenaran. Jika diterapkan pada realitas sehari-hari, teori ini membantu kita melihat bahwa menyalahkan satu figur semata justru mengabaikan fakta bahwa penyimpangan muncul dari banyak simpul—struktur, budaya, dan kebiasaan kolektif.

Karena itu, saya merespons diskusi tersebut dengan kalimat sederhana namun bermakna: \”Penyebab utama korupsi adalah kita sendiri.\” Pernyataan ini bukan pembelaan terhadap kekuasaan, melainkan ajakan untuk memindahkan cermin dari atas kepala ke dada masing-masing—sebagai warga, pemilih, dan pelaku dalam sistem.

Tanggapan yang muncul cepat dan tajam. Mereka menyatakan bahwa tanpa teladan dari atas, moral di bawah tak akan tumbuh. Bahwa sistem rusak dari kepala. Bahwa kepemimpinan adalah sumber segala kebusukan.

Namun, jika benar presiden adalah akar dari semuanya, maka setiap pelanggaran di daerah hanyalah perpanjangan dari kehendak pusat. Tapi benarkah demikian? Tidak semua penyimpangan lahir dari perintah. Banyak di antaranya lahir dari pilihan.

Tekanan struktural dan kekosongan regulasi membuat ASN terjebak dalam zona abu-abu birokrasi yang membuka peluang korupsi administratif.

Korupsi sebagai Pilihan: Sebuah Pendekatan Psikologis dan Sosial

Donald Cressey, melalui Fraud Triangle Theory, menjelaskan bahwa korupsi terjadi ketika tiga unsur bertemu: tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Unsur-unsur ini bisa hadir di setiap level kekuasaan—dari pusat hingga daerah, dari elite hingga struktural.

Artinya, bukan lompatan besar yang membawa seseorang ke pusaran korupsi, melainkan langkah-langkah kecil yang terus dibiarkan: dari menutupi SPJ, menyunat honor, hingga memanipulasi pengadaan. Setiap kompromi adalah anak tangga menuju pembusukan moral.

Pelaku korupsi diawalnya hanya mencoba menyesuaikan diri. Hal ini sesuai dengan konsep Institutional Isomorphism (DiMaggio dan Powell, 1983), yang menyebut bahwa aktor dalam organisasi cenderung meniru praktik dominan di sekitarnya demi memperoleh legitimasi. Dengan kata lain, korupsi bukan semata tindakan individual, tetapi juga hasil dari penyesuaian sosial yang dibiarkan.

Baca Juga “Naik Kelas”, Metafora Praktik Korupsi di Indonesia

Cashback Dianggap Wajar

Dalam praktik birokrasi sehari-hari, bentuk penyesuaian itu tampak nyata: praktik cashback dan kickback yang dianggap wajar. ASN menyebutnya \”ucapan terima kasih\”—selama tidak diminta, dianggap sah. Namun menurut hukum, tepatnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, setiap bentuk pemberian kepada ASN—diminta atau tidak—termasuk dalam kategori gratifikasi dan wajib dilaporkan.

Masalah terbesar bukan pada bentuk pemberiannya, melainkan pada pembenaran moral yang menyertainya. Ketika pelanggaran kecil dibungkus kata \”terima kasih\”, dan gratifikasi disulap menjadi \”balas jasa\”, maka—seperti dikemukakan Bandura (1999)—terjadilah moral disengagement: proses pelepasan tanggung jawab etis dari tindakan yang sebenarnya menyimpang.

Inilah bagaimana korupsi naik kelas—bukan dari niat jahat, tetapi dari pelanggaran kecil yang terus dibenarkan dan ditoleransi.

Ironisnya, semakin keras kita menyerukan sistem yang bersih, semakin kita permisif terhadap pelanggaran kecil yang kita anggap remeh. Kita menunjuk ke atas, namun menutup mata pada manipulasi SPJ di sebelah meja kita. Kita menuntut perubahan, tapi ikut menjaga budaya kompromi.

Dilema ASN: Tekanan Sistem, Kekosongan Regulasi

Tentu tidak semua korupsi lahir dari kerakusan. Dalam tulisan saya \”ASN dalam Dilema Korupsi\”, saya menunjukkan bahwa tekanan struktural, perintah atasan, dan budaya kerja bisa membuat ASN merasa tidak punya pilihan lain selain ikut arus. Ini selaras dengan konsep Ethical Fading dari Tenbrunsel dan Messick (2004): ketika tekanan organisasi membuat batas moral menghilang dari kesadaran.

Baca Juga: ASN dalam Dilema Seretan Korupsi

Fenomena ini kini hadir dalam bentuk baru: bagaimana menjalankan program strategis secepat mungkin ketika regulasi belum siap? Haruskah birokrasi menunggu sistem ideal, atau tetap bergerak di tengah ketidakpastian?

Di satu sisi, birokrasi dituntut lincah dan inovatif. Di sisi lain, regulasi tertinggal, tumpang tindih, atau bahkan belum tersedia. Dan justru dalam jurang antara tuntutan dan kesiapan inilah, niat baik kerap tergelincir menjadi pelanggaran administratif.

Baca Juga: ASN dalam Dilema Integritas

Kita tidak boleh terus membiarkan ASN terjebak antara integritas dan efektivitas. Zona abu-abu yang ditimbulkan oleh sistem yang tidak adaptif adalah ladang subur bagi korupsi administratif. Bukan karena niat jahat, melainkan karena ketidakpastian dibiarkan.

Korupsi Dalam Pemerintahan Digital

Namun, perlu dicermati bahwa tantangan birokrasi hari ini tidak lagi terletak pada korupsi manual yang mudah dilacak, tetapi pada mekanisme digital yang netral secara moral namun tetap membuka ruang pelanggaran. E-budgeting, atau sistem tender elektronik memang mempercepat proses, tapi tidak serta-merta memperkuat nilai. Sistem bisa efisien sekaligus koruptif—jika desainnya tidak menyertakan nilai-nilai etika sejak awal.

Inilah paradoks reformasi birokrasi digital: semakin cepat dan terotomatisasi sebuah sistem, semakin besar potensi penyimpangan yang tersembunyi di balik dashboard dan dokumen elektronik. Kita tak lagi bicara soal ASN yang menyunat anggaran, tapi soal siapa yang mengendalikan struktur otorisasi, siapa yang menyetel algoritma persetujuan, dan bagaimana sistem dibangun untuk menghindari tanggung jawab. Birokrasi cepat tanpa nilai hanya akan melahirkan pelanggaran yang lebih licin.

Baca Juga: Petty Corruption sebagai Kerikil dalam Reformasi Birokrasi Layanan Publik

Karena itu, perlu dibangun kesadaran akan pentingnya “etika sistemik”: sebuah pendekatan yang tidak hanya menuntut integritas pribadi, tapi juga memastikan bahwa sistem birokrasi dirancang untuk mencegah dilema sejak awal. Artinya, desain regulasi, platform digital, dan SOP pelayanan publik harus dibangun dengan nilai, bukan hanya dengan instruksi teknis. Integritas tidak bisa hanya diminta dari individu; ia harus disemai dari cara kerja sistem itu sendiri.

Tentu saja, siapa pun yang menyalahgunakan wewenang harus diadili. Namun publik juga perlu melihat bahwa korupsi bukan sekadar ulah individu bejat, melainkan akumulasi dari sistem yang longgar, budaya yang permisif, dan kita semua yang membiarkannya.

Lantas, siapa yang bersalah?

Mungkin bukan hanya presiden. Bukan juga semata rektor atau gubernur. Tapi kita semua—yang diam saat tahu penyimpangan terjadi, yang membiarkan rekayasa laporan, yang menganggap kejujuran hanyalah idealisme orang naif.

Bukan jabatan yang membuat seseorang korup, melainkan pilihan-pilihannya saat tidak ada yang melihat. Dalam senyap, di luar sorotan, integritas menemukan ujian sejatinya. Dan saat itu, pertanyaannya bukan lagi: siapa yang bersalah? Tapi: siapa yang masih peduli untuk jujur?

Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Exit mobile version