Petty corruption (korupsi kecil) masih sangat lazim terjadi di Indonesia. Ibaratnya korupsi jenis ini menjadi kerikil kecil dalam sepatu untuk konteks memperbaiki birokrasi layanan publik di Indonesia. Coba bayangkan, bagaimana kita bisa jalan cepat atau mendaki sampai puncak jika di dalam sepatu kita ada kerikil.
Jenis Korupsi
Langkah kita terhambat tidak bisa bergerak cepat sebelum kerikil tersebut dienyahkan. Target pembenahan layanan publik dalam Reformasi Birokrasi (RB ) yang dijalankan Pemerintah Indonesia tidak akan tercapai optimal selama kerikil berupa petty corruption itu masih ada.
KPK dalam situs Pusat AntiKorupsinya menguraikan korupsi dalam 3 jenis, yaitu petty corruption, grand corruption dan political corruption.
“Petty corruption adalah korupsi kecil-kecilan yang banyak terjadi di tengah masyarakat dan dianggap biasa, grand corruption adalah korupsi skala besar dengan kerugian negara yang masif dan merugikan masyarakat luas, sementara political corruption adalah korupsi menggunakan jalan politik yang terjadi secara sistematis untuk mengeruk uang negara” (KPK-Pusat AntiKorupsi, 11/01/23).
Luput Perhatian Media
Media massa Indonesia selama ini banyak memberitakan kasus grand dan political corruption. Sebaliknya, petty corruption sering luput karena sering tidak terjamah oleh hukum, nilai rupiah hanya kecil. Padahal, sebenarnya petty corruption ini sangat berbahaya. Ini karena terjadinya di grass-root dan menghasilkan nilai dan budaya tertanam dalam kepribadian masyarakat Indonesia.
Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Keterlibatan dalam skala kecil di awal, ASN akan “naik kelas” sepanjang berkarier dan berkembang menjadi pejabat tinggi yang tidak takut dan terbiasa dengan grand dan political corruption.
Petty Corruption Ternyata Besar Juga
Petty corruption terjadi saat masyarakat memberi uang melebihi tarif resmi.
Praktik ini melibatkan petugas layanan tingkat bawah (street-level bureaucrat, noneselon).
Ironisnya, fenomena ini cenderung dianggap hal yang biasa dan diterima. Bahkan hal ini sudah menjadi adat kebiasaan berbentuk terima kasih dan penghargaan. Meskipun demikian, walaupun pemberian dan penerimaan berlandaskan kerelaan, tindakan ini tetap tergolong pungutan liar (pungli).
Baca juga Naik Kelas”, Metafora Praktik Korupsi di Indonesia
Akibatnya, karena masif, tersebar, dan berulang-ulang, petty corruption akan meraup jumlah rupiah yang besar juga. Sebagai ilustrasi: kumparan (22/06/23) memberitakan tanggapan Didik Mukrianto anggota DPR RI Komisi 3 terhadap indikasi pungli yang terjadi di rutan KPK. Jumlahnya diperkirakan mencapai Rp 4 Miliar dalam waktu hanya 3 bulan saja (Desember 2021 hingga Maret 2022).
Lebih lanjut, diberitakan juga bahwa pungli tersebut diduga untuk memberikan fasilitas tambahan di dalam rutan yang seharusnya menjadi tempat yang terbatas baik dari akses komunikasi maupun fasilitas. Untuk memperlancar memasukkan fasilitas yang dibatasi itu maka digunakan uang ‘pelicin’.
Reformasi Birokrasi
Namun kenyataannya, kita dapat merasakan dan melihat, kondisi yang diinginkan di atas ternyata masih jauh dari harapan. Grand corruption yang terungkap dengan pejabat tinggi di pemerintah pusat dan daerah selalu menghiasi pemberitaan media. Di sisi lain, dibalik itu, tulisan ini akan membahas tentang tindak korupsi skala kecil yang melibatkan masyarakat biasa, ASN noneselon (street-level bureaucrat). Bagaimana persepsi dan pengalaman mereka terhadap tindak korupsi. Sebagaimana diketahui, tentu saja pengalaman mereka tergolong petty corruption (skala kecil) atau sering disebut pungutan liar (pungli). Walaupun per transaksinya kecil, di atas telah diilustrasikan akumulasi jumlahnya akan besar karena dilakukan secara masif dan tersebar. Terlebih lagi, jika kita menghitung nilai budaya yang tertanam dalam pribadi masing-masing yang terlibat. Tujuan utama dari Grand Design Reformasi Birokrasi di atas sangat sulit dicapai nantinya, di ujung periode yaitu tahun 2025. Demikian pula, tujuan dari core values ASN Ber-AKHLAK (SE Menpan-RB No.20/2021).
Indeks Perilaku AntiKorupsi
Untuk pengukuran terhadap masyarakat biasa, Badan Pusat Statistik (BPS) secara rutin setiap tahun mengadakan survei Indeks Perilaku AntiKorupsi (IPAK). IPAK adalah alat ukur untuk menilai perilaku antikorupsi masyarakat. Dengan skala 0-5, di mana nilai lebih tinggi mencerminkan budaya antikorupsi yang kuat, temuan survei ini memberikan gambaran yang cukup jelas tentang dinamika di masyarakat.
Sebagai kelanjutannya, pada 6 November 2023 yang lalu, BPS mengumumkan hasil IPAK 2023. Secara keseluruhan dimensi dan parameter diukur, hasilnya nilai IPAK 2023 menurun (0,01 poin) dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan adanya tantangan yang perlu diatasi dalam membangun kesadaran dan tindakan antikorupsi di tingkat masyarakat.
Dengan kata lain, kita semua harus waspada, apakah ini hanya sekadar fluktuasi atau sinyal serius terhadap kepatuhan masyarakat. Tetapi keadaan ini perlu disikapi serius karena sejak tahun 2020 sampai sekarang nilai IPAK hasil survei selalu di bawah target RPJMN.
Persepsi dan Pengalaman Masyarakat Terhadap Korupsi
Lebih jauh lagi, IPAK 2023 memberikan gambaran yang harus menjadi perhatian kita bersama terhadap persepsi dan pengalaman masyarakat (publik). Yang perlu diwaspadai adalah masyarakat kita semakin menerima atau mempersepsikan bahwa korupsi itu wajar (turun 0,02 poin). Ternyata kenaikan bukan cuma pada persepsi, malah terjadi kenaikan juga pada pengalaman mereka, yaitu terlihat dalam tindak korupsi (indeksnya turun 0.05 poin).
Sebagai bukti konkrit, berdasarkan IPAK 2023, tindakan tergolong petty corruption di bawah ini cenderung diperbolehkan oleh masyarakat. Fenomena ini ditandai dengan penurunan indek, yaitu:
- Orang tua/mahasiswa memberikan sesuatu kepada pihak sekolah/kampus ketika kenaikan kelas/kelulusan. Indeks turun 11,08%.
- Toko/perusahaan memberikan hadiah kepada penyelenggara negara karena pembelian bahan bangunan untuk pembangunan wilayah/gedung pemerintah. Indeks turun 6,45%.
- Perusahaan pemenang proyek pemerintah memberikan sesuatu kepada pemimpin/pegawai proyek pemerintah. Indeks turun 4,61%.
- Membagikan uang/barang ke calon pemilih pada Pilkades/Pilkada/Pemilu. Indeks turun 4,24%.
- Mengharapkan pembagian uang/barang pada Pilkades/Pilkada/Pemilu. Indeks turun 2,84%.
Persepsi diatas menyebabkan terjadi penurunan (sebesar 0,87 persen) terhadap persentase masyarakat yang membayar sesuai ketentuan ketika berurusan dengan layanan publik.
Temuan dalam IPAK 2023 di atas diharapkan menjadi dasar bagi pemerintah dan pihak berkepentingan untuk tidak hanya berfokus pada grand corruption saja. Indikasi naiknya petty corruption juga menjadi indikator yang mengganggu pencapaian Grand Design Reformasi Birokrasi. Apa strategi yang mesti dilakukan sehubungan dengan Reformasi Birokrasi dan penerapan core value Berakhlak bagi ASN.
Reformasi Birokrasi Layanan Publik
Arah kebijakan Reformasi Birokrasi General (PermanRB No 3/2023) adalah terbentuknya birokrasi pemerintahan digital dengan beberapa strategi diantaranya: (i) Percepatan Implementasi SPBE melalui Pembangunan SuperApps Layanan Digital Pemerintah Terintegrasi. Implementasinya berdasarkan Arsitektur SPBE Nasional dalam melakukan keterpaduan layanan digital pemerintah. (ii) Pembangunan MPP dan MPP Digital Services, dengan sasaran “Terbangunnya Pelayanan Publik Digital (Digital Services)”.
Dari arah kebijakannya terlihat pemerintah akan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam hal ini e-government untuk membentuk birokrasi pemerintahan yang bersih bebas dari KKN.
Pembangunan Aplikasi Layanan Publik
Pembangunan SuperApps dan MPP Digital Service di atas adalah usaha pemerintah dalam melakukan transformasi digital dan digitalisasi di sektor layanan pemerintah. Harapan bapak presiden adalah digitalisasi pemerintahan ini harus dapat menekan budaya dan tindak korupsi di lingkungan pemerintah.
Dengan SuperApps dan MPP Digital Service diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan pertemuan antara masyarakat dan petugas layanan. Paperless diterapkan, tidak ada submission dokumen secara fisik. Otentikasi dilakukan dengan NIK, NPWP, digital id, biometric, face recognition, dan e-token. Pembayarannya menggunakan e-money dan e-banking.
Transformasi Digital dan Tindak Korupsi
Sejalan dengan itu, Carlos Santiso dalam newsletter apolitical (27/02/2019) menuliskan yang kurang lebih bahwa transformasi digital akan mengubah dinamika tindak korupsi melalui tiga poin utama, yaitu (i) memanfaatkan data untuk meningkatkan akuntabilitas, (ii) memangkas birokrasi dan mengurangi diskresi dalam pembuatan kebijakan, (iii) melalui transformasi pemerintahan dan percepatan inovasi.
Dengan demikian teknologi digital bersama transparansi akan menjadi sekutu terbesar untuk memastikan integritas di sektor publik. Dengan dukungan kebijakan politik, transformasi digital memiliki potensi untuk mengurangi tindak korupsi dengan cara yang sebelumnya sulit dibayangkan.
Meskipun pemerintah telah berupaya maksimal, sebagai ilustrasi penulis pernah mengalami sendiri praktik tidak baik di luar alur sistem layanan yang telah dibangun.
Oleh karena itu, teknologi digital bersama transparansi akan menjadi sekutu terbesar untuk memastikan integritas di sektor publik. Apalagi, dengan dukungan kebijakan politik yang tepat, transformasi digital memiliki potensi untuk mengurangi tindak korupsi dengan cara-cara yang sebelumnya sulit dibayangkan.
Namun demikian, meskipun pemerintah telah berupaya maksimal, pada kenyataannya, penulis pernah mengalami sendiri praktik tidak baik yang terjadi di luar alur sistem layanan yang telah dibangun.
Meskipun pemerintah telah berupaya maksimal, sebagai ilustrasi penulis pernah mengalami sendiri praktik tidak baik di luar alur sistem layanan yang telah dibangun.
Ilustrasi Korupsi Dalam Layanan Publik
Penulis menemukan adanya penggiringan untuk wajib menambahkan lembar fotocopy dokumen dan membeli map.
Padahal hal ini sebenarnya tidak tercantum dalam persyaratan yang telah dituliskan di situs layanan. Petugas (street-level bureaucrat) di pintu masuk, dengan alasan pemeriksaan berkas, mengingatkan penulis dan setiap masyarakat yang antri masuk untuk menyediakan tambahan fotokopi dan map, padahal hal ini tidak termasuk dalam persyaratan resmi di situs layanan.
Meskipun petugas tidak keluar kata paksaan, masyarakat yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi di dalam kantor layanan merasa khawatir mengalami kesulitan dan kehilangan waktu karena harus keluar lagi mencari gerai fotocopy. Arahan petugas, pada dasarnya, adalah bentuk penggiringan yang diikuti oleh semua orang yang tengah menunggu di pintu masuk.
Penulis menemukan bahwa gerai fotocopy terdekat ternyata dioperasikan oleh koperasi karyawan dari kantor layanan tersebut. Saat berada di depan layanan, ternyata berkas yang difotokopi dan dimasukkan ke dalam map yang dibeli tidak digunakan sama sekali.
Biaya tambahan yang timbul akibat penggiringan oleh petugas (street-level bureaucrat) merupakan pengeluaran ekstra yang termasuk dalam kategori petty corruption, yang merugikan nilai Indeks Persepsi AntiKorupsi (IPAK), terutama dalam dimensi praktik korupsi yang tidak sehat.
Sebagai penutup, reformasi birokrasi memerlukan sistem aplikasi yang canggih. Namun, itu tidak cukup tanpa ASN berakhlak dan pengawasan internal.