Site icon REFLEK-IF

Pustakawan dan Geokognitif

Pustakawan kini berada di jantung medan geokognitif—medan baru dalam sejarah umat manusia, tempat pikiran jadi komoditas, dan kesadaran kolektif jadi sasaran kuasa. Dalam medan ini, yang menguasai pikiran akan menguasai arah peradaban.

Tulisan ini berbeda dari yang sebelumnya, yaitu \”Perpustakaan Era AI Menyapa, Tak Hanya Menyediakan\”.

Jika yang sebelumnya menyoroti pentingnya empati digital dan peran etis perpustakaan di era kecerdasan buatan, tulisan kali ini membawa refleksi itu ke tingkat yang lebih strategis: dari ruang interaksi digital menuju arena pertarungan kesadaran kolektif—geokognitif.

Tulisan ini berangkat dari refleksi panjang yang tumbuh di persimpangan kerja kelembagaan, kebijakan literasi digital, dan pendidikan strategis dan terekam dalam berbagai opini terdahulu.

Jika sebelumnya pustakawan tampil sebagai sahabat digital, maka kini mereka hadir sebagai penjaga nalar publik, aktor utama dalam menghadapi manipulasi kognitif global.

Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi tentang perpustakaan dan peran pustakawan mulai bergerak dari ruang pelayanan menuju wilayah yang lebih substantif: ideologi, informasi, dan kesadaran publik.

Sebagai pustakawan yang juga menekuni kebijakan strategis, saya memahami bahwa profesi ini tidak lagi bisa diposisikan secara administratif. Ia telah masuk ke wilayah geopolitik berpikir, ke dalam arena kekuasaan yang menyasar nalar, bukan hanya data. Gagasan ini saya tempatkan dalam kerangka evolusi kekuasaan global: dari geopolitik, ke geoekonomi, dan kini ke geokognitif.

Pergeseran itu membawa pergeseran perebutan kekuasaan dari wilayah, ke ekonomi rantai pasok, selanjutnya ke kesadaran kolektif. Di sinilah geokognitif hadir. Ia adalah kontestasi atas persepsi, atas apa yang kita anggap benar, atas ingatan dan intuisi bersama.

Dalam medan ini, algoritma menjadi senjata; narasi, jadi peluru; dan literasi, jadi pertahanan.

Dan di tengah semua itu, siapa yang paling sunyi perannya, tetapi paling dekat dengan inti persoalan? Tidak ada yang lain, selain Pustakawan.

Bukan sekadar pelayan informasi, mereka adalah penjaga nalar publik. Mereka bukan hanya mengelola koleksi, melainkan mengawal batas-batas rasionalitas bangsa. Pustakawan menyusun, menyaring, dan membentuk ekosistem pengetahuan yang menentukan apakah bangsa ini akan tahan terhadap manipulasi kognitif global—atau justru tumbang oleh banjir disinformasi.

Saya tidak lagi melihat pustakawan sebagai pelengkap sistem pendidikan. Mereka adalah arsitek kesadaran nasional. Tugas mereka bukan sekadar administratif, melainkan strategis: mempertahankan kemampuan publik untuk berpikir jernih, untuk membedakan mana fakta, mana fiksi; mana wawasan, mana provokasi.

Jika dahulu medan tempur berada di perbatasan geografis, hari ini ia berpindah ke ruang dalam kepala kita. Ketika informasi dipolitisasi, dan kesadaran publik jadi sasaran operasi, maka yang menguasai arus kognitif akan menguasai peradaban. Pustakawan berdiri di perlintasan itu—mereka bukan lagi pemelihara katalog, tetapi benteng terakhir dari kemampuan berpikir merdeka.

Geokognitif bukan ancaman teknis. Ia adalah medan strategis. Dan jika kita ingin memenangkan pertarungan ini, maka pustakawan harus diberi mandat bukan sekadar tugas. Mereka perlu diperlengkapi bukan hanya dengan kompetensi, tetapi juga dengan legitimasi ideologis sebagai bagian dari pertahanan nasional di medan yang baru.

Bukan negara yang paling besar yang akan menang, tetapi negara yang paling sadar bahwa masa depan ditentukan oleh siapa yang mengendalikan kesadaran rakyatnya. Dan itu dimulai dari siapa yang menjaga, menyaring, dan membentuk pengetahuan bersama. Di sanalah pustakawan berdiri.

Di abad geokognitif, bangsa yang gagal memperlengkapi pustakawannya bukan hanya kehilangan arsip—tetapi kehilangan arah berpikir. Karena hari ini, bukan senjata yang pertama kali meletus, melainkan persepsi. Dan siapa yang menguasai persepsi, akan menguasai sejarah.

Semuanya bermuara pada satu hal: pentingnya pustakawan sebagai aktor strategis dalam menjaga kewarasan bangsa.

Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Exit mobile version