Site icon REFLEK-IF

Tanpa Doktrin, Ruang Siber Jadi Lahan Tak Bertuan

Penerapan doktrin dan siber dalam operasi militer jadi bagian penting dari strategi pertahanan era digital.

Penerapan doktrin dan siber dalam operasi militer jadi bagian penting dari strategi pertahanan era digital.

TANPA doktrin yang eksplisit dan mengikat, ruang siber Indonesia berada dalam ketidakpastian strategis. 

Saya melihat Indonesia seperti sedang berdiri di ambang transisi besar arsitektur keamanan digitalnya. Mengapa demikian? 

Tinjauan Regulasi Siber

Dua instrumen utama—Undang-Undang No 3/2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS)—masih menyisakan celah mendasar: ketiadaan kepemimpinan yang terarah dan legitimasi yang konstitusional. 

Memang benar, revisi UU TNI telah memberikan tempat bagi ancaman siber dalam doktrin militer. Di sisi lain, RUU KKS tampak menjanjikan sebagai fondasi sistemik bagi keamanan digital nasional. 

Namun, menurut saya, keduanya belum berpadu dalam satu panduan konstitusional yang menyeluruh dan terpadu. 

Baca juga: Sipil dan Militer Dalam Penjagaan Ruang Siber 

Saya juga menemukan karakter pasal-pasal revisi UU TNI masih bersifat deklaratif. Maksudnya, peran TNI memang dimasukkan ke dalam dokumen hukum, tetapi tidak disertai dengan batas domain yang tegas, definisi musuh digital, ataupun protokol koordinasi antarlembaga. 

Ketidakjelasan ini menghambat interoperabilitas dengan otoritas sipil seperti BSSN, Kemenkomdigi, dan Polri. 

Tanpa batas yang sahih, celah eksekusi sepihak terbuka lebar. Konflik yurisdiksi pun bukan hanya mungkin, melainkan sangat nyata. 

Apalagi, hingga hari ini, belum ada protokol intervensi siber yang benar-benar dikendalikan secara sipil. Akibatnya, TNI bisa saja terjebak dalam simbolisme legal tanpa daya dukung institusional yang fungsional. 

RUU KKS Masih Ambigu

Di sisi lain, tata kelola dalam RUU KKS masih ambigu. Ada upaya menyusun koordinasi antarlembaga, tetapi tanpa struktur komando yang jelas dan hierarkis. 

Dalam situasi darurat digital, siapa yang mengambil keputusan? Siapa yang bertanggung jawab secara hukum dan operasional? Tidak ada pasal yang menyebutkannya secara eksplisit. 

Justru sebaliknya, Pasal 69 RUU KKS memberi kewenangan besar pada BSSN untuk “melaksanakan operasi keamanan” dan “menyaring konten”. Namun, tidak dijelaskan apakah kewenangan ini terbatas pada ranah pertahanan strategis atau juga mencakup ke ruang sipil. Tanpa kepastian batas itu, maka regulasi justru bisa memicu konflik antarinstitusi negara. 

RUU KKS bukan sekadar regulasi 

Kita tak bisa memandang RUU KKS hanya sebagai regulasi teknis. Ia harus menjadi dasar dari doktrin strategis nasional—panduan konstitusional bagi pembagian peran, pembentukan kepemimpinan, dan tata kelola ruang siber Indonesia ke depan. 

Amerika Serikat telah memberi contoh. National Cyber Strategy (NCS) tidak hanya menyatakan visi keamanan digital; ia menetapkan peran tiap lembaga dengan tegas. CISA bertanggung jawab atas perlindungan sipil, sedangkan USCYBERCOM dibatasi pada domain militer. Masuk ke sistem sipil? Hanya bisa dilakukan dengan mandat Presiden atau Kongres. 

Tiga prinsip utama ditegakkan dalam NCS: supremasi sipil, kejelasan yurisdiksi, dan koordinasi lembaga. Bukan sekadar ideal, tetapi dijamin dalam kerangka hukum. Itulah sebabnya, sistem keamanan siber AS tetap tangguh, bahkan saat terjadi krisis. 

Singapura pun tidak ragu. CSA langsung berada di bawah perdana menteri, dan memegang kendali atas seluruh strategi, regulasi, hingga manajemen insiden. Kekuatan teknokratiknya didukung struktur hukum yang sederhana, tetapi efektif. 

China? Pendekatannya otoriter dan sentralistik. CAC memegang kendali penuh, dengan keterlibatan militer yang intensif. Efektif, tapi mahal harganya: partisipasi sipil lenyap, dan akuntabilitas publik tergerus. 

Tanpa doktrin, Indonesia berisiko jadi sasaran 

Pelajaran dari ketiga negara di atas jelas: ruang siber tidak bisa dikelola tanpa arah. Supremasi sipil, batas otoritas, dan doktrin eksplisit adalah kebutuhan praktis. 

Saya menyimpulkan, Indonesia tampaknya ingin mengikuti pola Amerika—memperkuat supremasi sipil dan membatasi militer dalam domain strategis. 

Namun, berbeda dengan AS, Indonesia belum memiliki National Cyber Strategy versi sendiri. Strategi inilah yang saya maksud dengan doktrin nasional yang eksplisit. 

Tanpa doktrin, struktur kelembagaan hanya menjadi rangka kosong: megah dalam wujud, tapi rapuh dalam isi. 

Kondisi seperti ini, kita harus bertanya: jika suatu hari terjadi serangan siber terhadap sistem logistik nasional, siapa yang akan mengambil alih komando? Jika tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti, itu berarti negara sedang bermain api di tengah ladang minyak.

Tiga Langkah Strategis

Saya menawarkan tiga langkah strategis untuk keluar dari ketidakpastian ini. 

Langkah-langkah ini akan menentukan keamanan dan ketahanan ruang siber kita. 

RUU KKS dan revisi UU TNI adalah persimpangan sejarah. Kita bisa menjadikannya fondasi doktrin, atau membiarkannya menjadi dokumen hukum tanpa jiwa. 

Negara memang butuh kekuatan. Namun, kekuatan itu harus tunduk pada hukum, dijaga oleh etika, dan dibatasi oleh konstitusi. 

Tanpa doktrin, ruang siber hanyalah lahan tak bertuan: bebas dimasuki siapa saja, tapi tanpa arah dan tanpa penjaga.

Artikel ini sudah tayang di Kolom Kompas, klik di sini

Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Exit mobile version