UMKM bukan sekadar pelengkap ekonomi—mereka adalah fondasi kekuatan nasional. Artikel ini mengajak kita menata ulang peran UMKM dalam strategi geoekonomi Indonesia
UMKM Tulang Punggung Ekonomi Nasional
Sebelumnya, UMKM sering disebut sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Namun, di tengah arus digitalisasi global yang membentuk ruang siber, mereka justru berdiri di garis depan pertarungan baru yang tak kasatmata: geoekonomi digital. Dalam kaitan ini, saya pernah mengulas isu tersebut dalam artikel di Kumparan (“Digitalisasi UMKM: Berhenti Berpikir Keras, Mulai Linking Smart”, 25/03/2025). Melalui tulisan tersebut, saya menyerukan agar UMKM tidak terjebak dalam rumitnya jargon teknologi. Sebaliknya, mereka perlu mulai bergerak dengan pendekatan Linking Smart—menghubungkan potensi lokal dengan teknologi yang tersedia, secara cerdas dan terarah.
Strategi Geoekonomi Digital
Dalam artikel Detik (“Merespons Eskalasi Geoekonomi Digital”, 21/04/2025), saya mengatakan bahwa kekuatan digital kini digunakan bukan hanya untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai alat dominasi geopolitik. Karenanya, kita perlu strategi yang berpihak pada rakyat. Jika tidak, teknologi bisa memperdalam ketimpangan dan menggerus kedaulatan ekonomi kita.
Baca juga: Merespons Eskalasi Geoekonomi Digital
Sebenarnya ini lebih dari sekadar menjual, ini adalah soal menautkan nilai dengan cerita. Maksudnya, kita butuh pengrajin yang terkoneksi ke diaspora, petani yang menjual langsung lewat komunitas digital, dan mahasiswa yang mendampingi UMKM dengan basis data, bukan asumsi.
Dengan cara ini, rakyat tidak hanya memproduksi—mereka mengelola, memaknai, dan mengangkat nilai. Dari tangan ke pasar, dari cerita ke strategi.
Tapi strategi ini tidak bisa berdiri sendiri. Ketahanan geoekonomi digital butuh fondasi keamanan siber yang kokoh. Serangan terkoordinasi bisa melumpuhkan rantai pasok dan meruntuhkan kepercayaan publik.
Baca juga: Komando Krisis Siber: Indonesia Perlu Bergerak Cepat
Dalam artikel “Komando Krisis Siber: Indonesia Perlu Bergerak Cepat”, saya mendiskusikan bahwa perlindungan infrastruktur vital—termasuk data dan platform UMKM—harus menjadi prioritas. Tanpa ekosistem digital yang aman dan tepercaya, transformasi hanya akan jadi ilusi.
Ruang Siber dan Ketimpangan Geoekonomi
Ruang siber mencerminkan ketimpangan ekonomi global—dan rakyat makin sadar bahwa koneksi tanpa kendali hanya menciptakan keterasingan. Saatnya bicara geoekonomi dari bawah: dari mereka yang belum sepenuhnya terkoneksi sebagai produsen nilai.
Ruang siber mencerminkan ketimpangan ekonomi global—dan rakyat makin sadar bahwa koneksi tanpa kendali hanya menciptakan keterasingan. Saatnya bicara geoekonomi dari bawah: dari mereka yang belum sepenuhnya terkoneksi sebagai produsen nilai.
Indonesia terlalu lama membangun ekonomi dari atas—mengejar proyek-proyek raksasa seperti pelabuhan internasional, kawasan industri, dan zona ekonomi eksklusif.
Namun demikian, banyak rakyat hanya menjadi penonton. Bahkan ketika mereka terlibat, perannya sering terbatas sebagai buruh; sementara itu, kesempatan untuk tampil sebagai pemilik nilai tambah sangat jarang.
Kita perlu jujur: arah geoekonomi kita lebih melayani pusat dan aktor besar ketimbang membuka ruang hidup ekonomi yang merata. Padahal, ketahanan sejati hanya terbangun jika rakyat jadi pelaku utama—bukan pelengkap pembangunan.
Geoekonomi Dan Ancaman Global
Tetapi bicara geoekonomi tak bisa lepas dari bagaimana ketimpangan global dipelihara oleh pusat-pusat kuasa. Kebijakan ekonomi Donald Trump selama masa jabatannya adalah contoh nyata bagaimana kekuatan besar dapat mengguncang tatanan global secara sepihak. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyebukan bahwa kebijakan Trump “tidak bisa dijelaskan dengan teori ekonomi mana pun”—karena ia bukan semata soal pasar, tetapi soal kuasa dan dominasi.
Dari situ kita belajar: ketahanan ekonomi Indonesia tak boleh bertumpu pada relasi satu arah dengan adidaya mana pun. Ketika satu negara bisa mengacaukan rantai pasok hanya lewat tarif atau embargo, ketergantungan berubah jadi kerentanan.
UMKM adalah pilar sekaligus garda depan kemandirian ekonomi—fleksibel, tersebar, dan mampu bertahan di tengah krisis. Mereka bukan pelengkap, melainkan penggerak kapasitas domestik yang sesungguhnya.
Di sinilah muncul harapan: UMKM dan pelaku kreatif lokal. Mereka tak butuh pelabuhan besar atau pabrik canggih—cukup koneksi internet, ruang aman, dan akses pasar yang adil.
Tetapi agar mereka benar-benar tumbuh, digitalisasi saja tidak cukup. Kita memerlukan pendekatan koneksi yang cerdas—dan di sinilah strategi transformasi digital di atas menjadi krusial.
Merekonstruksi Geoekonomi dari Akar
Untuk memahami rekonstruksi geoekonomi secara menyeluruh, kita juga perlu kembali ke akar konsep ruang dalam geopolitik.
Friedrich Ratzel memperkenalkan konsep Lebensraum—ruang hidup yang dibutuhkan bangsa untuk tumbuh, bukan hanya fisik, tetapi juga ekonomi dan budaya. Indonesia punya modal itu: ribuan pulau, kekayaan alam, dan keberagaman SDM. Tetapi dalam praktiknya, ruang hidup ini belum terhubung adil. Infrastruktur berat hanya menjangkau sebagian wilayah, distribusi tersendat, dan akses produksi masih tersentralisasi. Yang paling menyakitkan: rakyat kecil nyaris tak punya posisi tawar.
Sistem ekonomi kita memaksa rakyat menjadi tenaga bagi mesin besar—tanpa dilibatkan sungguh-sungguh dalam penciptaan nilai. Industri besar memang dibutuhkan, tetapi terlalu padat modal dan hanya bisa digerakkan oleh segelintir aktor. Rakyat tak diberi ruang untuk tumbuh sebagai produsen, apalagi pemilik.
Zaman telah berubah. Geoekonomi kini ditentukan bukan oleh pelabuhan terdalam, tetapi oleh siapa yang paling terkoneksi, cepat belajar, dan cerdas mengelola potensi. Dunia telah bergeser ke ruang digital—tempat ide, data, dan nilai berpindah dalam hitungan detik.
Membangun Ketahanan Geoekonomi
Ketahanan geoekonomi tak bisa dibangun dari puncak piramida. Karennya, perancangannya harus dari akar: warung kecil, bengkel kreatif, kelompok tani, studio desain, dan koneksi komunitas. Sehingga, UMKM butuh kebijakan berpihak, jejaring kolaboratif, dan ruang berekspresi yang bebas dari dominasi segelintir platform besar.
Bangsa ini tak akan kuat jika ekonominya hanya bertumpu pada pusat dan konglomerasi. Sehingga, kita butuh rekonstruksi menyeluruh—geoekonomi yang kuat secara makro dan tahan secara mikro. Agar supaya, rakyat mendapat tempat sebagai pasar atau buruh, tetapi sebagai produsen utama dalam rantai nilai.
Indonesia punya semua modal. Lebih dari sekadar pendekatan, yang kita butuhkan adalah keberanian untuk memilih jalan yang memihak rakyat.
Di dunia yang tak pasti, geoekonomi bukan sekadar cara bertahan—tapi soal siapa yang terkoneksi, siapa yang mengelola nilai, dan siapa yang berani mengambil posisi.
Kebijakan tak cukup. Kini saatnya kehadiran strategi nasional: menggerakkan kekuatan rakyat, mengamankan kedaulatan ekonomi, dan memastikan masa depan tetap dalam kendali kita.