Di dunia siber hari ini, kejahatan tidak lagi eksklusif. Tak perlu gudang senjata, jaringan kartel, atau keahlian meretas tingkat tinggi. Cukup dengan koneksi internet, niat, dan sedikit modal kripto, seseorang bisa melancarkan serangan digital berskala besar. Inilah wajah baru kriminalitas digital: Crime-as-a-Service (CaaS)—model layanan gelap yang memungkinkan siapa saja menyewa alat, infrastruktur, dan keahlian kriminal untuk menyerang atau menyusup secara virtual.
Fenomena ini tidak sekadar evolusi teknis. Ia mencerminkan transformasi struktural dalam ekosistem kejahatan. Dalam artikelnya di Forbes (13 Juni 2025), Bernard Marr menunjukkan bahwa kejahatan digital kini meniru model bisnis legal seperti Software-as-a-Service. Di dark web, tersedia malware siap pakai, botnet sewaan, phishing kit, hingga layanan deepfake—semuanya ditawarkan terbuka. Bahkan, dengan sistem langganan yang mudah dan antarmuka pengguna yang ramah, kejahatan digital menjadi layanan yang dapat diakses, dipelajari, dan dijalankan siapa pun.
Baca juga How Crime-As-A-Service Turned Hacking Into A Subscription Business
Inilah yang kemudian disebut sebagai demokratisasi kejahatan digital—istilah yang mencerminkan menurunnya ambang teknis dan meningkatnya partisipasi dalam kejahatan berbasis teknologi.
Dari Istilah Akademik ke Ancaman Nyata
Istilah “demokratisasi kejahatan” bukanlah terminologi hukum formal. Ia berasal dari ranah akademik dan komunitas keamanan digital sejak awal 2010-an.
Kemunculan layanan seperti Exploit-as-a-Service dan Malware Builder Kits telah mendemokratisasi akses terhadap kemampuan kejahatan siber tingkat lanjut, yang sebelumnya hanya tersedia bagi kalangan peretas profesional.
Laporan Internet Organised Crime Threat Assessment (IOCTA) dari Europol tahun 2016 dan 2018 memperkuat pernyataan tersebut:
“The commodification of cybercrime has led to a democratization of criminal access to tools previously available only to experts.”
Dengan kata lain, siapa pun kini dapat menjadi pelaku, bahkan tanpa pemahaman teknis mendalam tentang dunia siber.
Transformasi ini bukan hanya bersifat kuantitatif, melainkan juga kualitatif. Wajah kejahatan bergeser dari para ahli kriminal menjadi siapa saja yang memiliki akses dan niat.
Dari Dunia ke Indonesia: Ancaman yang Makin Dekat
Dampak global ini kini nyata di Indonesia. Serangan ransomware terhadap Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 2023 misalnya, mengganggu layanan nasabah dan mengguncang kepercayaan publik.
Baca Juga: BSI Diserang: Apa Kabar Keamanan, Pertahanan, dan Kedaulatan Siber Indonesia?
Setahun kemudian, gangguan besar terhadap Pusat Data Nasional (PDN) memperlihatkan kelemahan fundamental dalam arsitektur dan ketahanan digital negara.
Baca Juga: ASN dalam Dilema Integritas
Namun, sumber ancaman bukan hanya dari luar. Justru yang lebih mengkhawatirkan adalah dari dalam: pengawasan yang lemah, proyek digital penuh celah, dan integritas aparatur yang rapuh. Banyak proyek teknologi informasi dijalankan tanpa standar keamanan, bahkan disusupi praktik korupsi.
Dalam konteks ini, demokratisasi kejahatan bukan semata-mata isu teknologi—melainkan juga cerminan dari lemahnya kebijakan dan etika tata kelola nasional.
CaaS: Industri Gelap yang Terorganisasi
CaaS tak lagi seperti sindikat konvensional. Kini, ia beroperasi menyerupai industri layanan yang canggih. Misalnya, FraudGPT digunakan untuk menulis skenario penipuan otomatis dengan narasi meyakinkan. WormGPT membantu menciptakan malware yang adaptif dan sulit dideteksi. Layanan deepfake-as-a-service bahkan menyewakan suara dan wajah palsu untuk keperluan pemerasan atau manipulasi sosial.
Tak berhenti di situ, botnet siap pakai juga disediakan untuk menyerang infrastruktur publik maupun swasta. Forum komunitas, sistem dukungan teknis, serta fitur pembaruan rutin menjadikan layanan ini semakin berdaya rusak. Hal-hal yang dulunya hanya dapat dilakukan kelompok elite, kini tersedia bagi siapa saja yang bersedia membayar.
Dengan demikian, kejahatan digital telah berkembang menjadi sistem yang terstruktur, efisien, dan terdigitalisasi.
Risiko Struktural Indonesia: Bukan Sekadar Teknologi
Sayangnya, kesiapan Indonesia menghadapi transformasi ini masih minim. Infrastruktur digital pemerintahan masih mengandalkan sistem lama yang tidak terintegrasi dan sulit beradaptasi. Koordinasi antar lembaga berjalan lambat, sektoral, dan minim interoperabilitas. Literasi siber di kalangan aparatur dan publik juga tergolong rendah—terutama dalam mengenali rekayasa sosial dan manipulasi identitas digital.
Yang lebih mengkhawatirkan, Indonesia belum memiliki sistem pertahanan berbasis AI yang mampu mendeteksi dan merespons serangan secara otomatis dan waktu nyata. Saat negara-negara lain mulai mengembangkan kemampuan prediktif, kita masih mengandalkan mitigasi manual yang lambat dan reaktif.
Lebih dalam lagi, persoalan integritas birokrasi digital menjadi sumber kerentanan sistemik. Pengadaan fiktif, vendor tidak kompeten, dan absennya audit keamanan membuka peluang sabotase dari dalam.
Kita Tidak Bisa Terus Bereaksi
Menghadapi semua ini, Indonesia tidak bisa terus bertindak reaktif. Diperlukan kerangka strategis yang kokoh dan antisipatif:
Pertama, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber harus ditetapkan sebagai fondasi kedaulatan digital, bukan sekadar aturan administratif.
Baca juga: Tanpa Doktrin, Ruang Siber Jadi Lahan Tak Bertuan
Kedua, Indonesia memerlukan doktrin pertahanan siber nasional yang menjadikan AI sebagai pilar utama pertahanan aktif, bukan pelengkap simbolik.
Ketiga, reformasi tata kelola digital harus segera dilakukan. Sebab, kecanggihan teknologi tak akan berguna jika berdiri di atas birokrasi yang keropos.
Musuh Tanpa Wajah, Perang Tanpa Genderang
Kita hidup di zaman di mana musuh tidak mengenakan seragam. Ia datang dalam bentuk baris kode, bukan peluru. Ia menyusup diam-diam, bukan menyerang secara frontal.
Jika kita terus menunda membangun benteng digital nasional yang cerdas, maka bukan hanya data atau sistem yang akan lumpuh, tetapi ruang hidup digital bangsa ini yang akan terkikis—perlahan, sunyi, dan tanpa peringatan.