Tertangkapnya Wakil Menteri Ketenagakerjaan oleh KPK beberapa waktu lalu menjadi alarm keras bagi wajah birokrasi kita. Posisi setingkat wamen sejatinya adalah jabatan strategis yang mendukung kerja menteri, bukan sekadar kursi tambahan. Namun ketika jabatan strategis ini justru terseret kasus korupsi, publik wajar bertanya: apakah kita sedang menata birokrasi atau justru memperbesar ruang kompromi politik?
Kasus ini muncul di saat awal pemerintahan Prabowo memperlihatkan arah kebijakan yang cenderung memperbanyak kementerian, menambah wakil menteri, dan staf khusus. Kesan kuat yang muncul: pembesaran struktur ini lebih berorientasi pada pemenuhan politik, bukan kebutuhan birokrasi.
Lebih memprihatinkan lagi, sistem merit yang telah susah payah dibangun oleh KemenpanRB dan BKN tampak diabaikan. Jabatan eselon satu dan dua kini banyak diisi lewat penunjukan langsung, tanpa asesmen atau uji kompetensi. Padahal, merit system adalah filter integritas. Tanpa itu, pejabat yang terpilih rentan memiliki utang budi pada pihak tertentu, yang pada akhirnya melemahkan independensi dan membuka ruang konflik kepentingan.

Kasus korupsi wamen ini seolah menjadi bukti nyata bagaimana rapuhnya merit system kita. Jika jabatan tinggi saja mudah dipengaruhi kepentingan non-profesional, bagaimana dengan lapisan birokrasi di bawahnya?
Padahal, Prabowo membawa agenda besar dengan alokasi anggaran jumbo untuk program-program strategis. Program besar butuh birokrasi yang kuat, berintegritas, dan profesional. Tanpa itu, justru terbuka peluang baru bagi praktik penyimpangan yang lebih luas.
Di sinilah kegelisahan itu bermuara. Banyak sekali desain kebijakan strategis dari lembaga pemikir bangsa seperti LAN RI, BKN, Lemhannas, dan KemenpanRB yang berangkat dari kepentingan nasional. Namun, gagasan strategis itu sering digugurkan oleh kebijakan teknis dan praktis. Reformasi birokrasi akhirnya terus dipush dengan pendekatan teknokratik, tanpa doktrin dan arah strategis yang jelas.
Refleksi ini menegaskan bahwa kita sedang berada di persimpangan reformasi birokrasi. Kasus Wamenaker hanyalah puncak gunung es. Pertanyaannya, apakah pemerintah berani kembali menegakkan merit system, menjaga integritas aparatur, dan menutup ruang kompromi politik dalam penentuan jabatan?
Jika jawabannya ya, maka agenda besar Prabowo bisa ditopang birokrasi yang tangguh. Namun jika tidak, yang akan lahir hanyalah birokrasi gemuk yang rapuh: penuh jabatan, miskin integritas—dan pada akhirnya, publiklah yang membayar mahal akibatnya.