Ruang Kontrol AI dalam Perang SiberRuang Kontrol AI dalam Perang Siber

AI dan siber kini saling terkait erat. Teknologi ini berubah dari alat layanan publik menjadi senjata digital. Kini teknologi ini telah diadopsi secara luas. Penggunaannya mencakup sistem pengaduan, chatbot, deteksi bencana, dan prediksi logistik.

Dalam kerangka itu, AI berfungsi sebagai pelayan—penopang kehidupan sosial agar lebih tertata, cepat, dan responsif.

Namun, evolusi AI tak berhenti di batas fungsi administratif. Pada sisi lain spektrum, teknologi ini berkembang menjadi alat kendali, bahkan senjata.

Ia digunakan untuk mengintai, menggiring opini, menyusup ke algoritma publik, dan dalam beberapa kasus, menyerang sistem siber tanpa pelatuk manusia.

AI yang dipersenjatai (\”Weaponized AI\”) menjadi ancaman baru. Bukan hanya terhadap pertahanan militer, tetapi juga terhadap integritas ruang digital dan kebebasan sipil.

Mampukah negara dan masyarakat membedakan serta mengatur dua wajah AI ini?

Baca juga: Tanpa Doktrin, Ruang Siber Jadi Lahan Tak Bertuan

Baca juga: Tanpa Doktrin, Ruang Siber Jadi Lahan Tak Bertuan

Dari Layanan Menuju Senjata Membaca Dua Wajah AI

AI dalam fungsi pelayanannya bekerja dalam logika publik. Ia dirancang untuk memperbaiki sistem yang lambat, tidak presisi, atau terlalu birokratis.

AI dimanfaatkan perpustakaan untuk rekomendasi bacaan dan oleh rumah sakit untuk analisis gejala. Teknologi ini menjadi jembatan menuju kesejahteraan sosial.

Namun, AI mulai digunakan untuk mengumpulkan data warga secara masif tanpa akuntabilitas. Ia juga memantau aktivitas daring secara diam-diam dan menyebarkan disinformasi lewat bot atau deepfake. Dalam kondisi ini, fungsinya pun bergeser.

Dalam situasi seperti ini, AI berhenti menjadi pelayan dan menjelma menjadi senjata kekuasaan—senyap, presisi, dan sulit dilacak.

Tanpa pengawasan etik, sistem yang awalnya dirancang untuk pelayanan dapat berubah menjadi alat pengawasan yang membatasi kebebasan sipil.

Demokrasi digital hanya dapat bertahan jika AI diarahkan untuk melayani, bukan menaklukkan. Jika gagal, maka kita akan membangun sistem yang cerdas secara teknis, tapi buta secara moral.

Untuk memahami transisi AI dari alat bantu menjadi instrumen dominasi, sejumlah teori klasik dapat dijadikan acuan.

Baca juga: Komando Krisis Siber: Indonesia Perlu Bergerak Cepat

Michel Foucault, lewat konsep panoptikon menjelaskan bagaimana pengawasan menjadi bentuk kekuasaan yang bekerja tanpa kekerasan fisik.

Shoshana Zuboff memperkenalkan gagasan kapitalisme pengawasan, di mana data personal dipanen untuk memprediksi dan memengaruhi perilaku individu demi kepentingan korporasi.

NATO bahkan menetapkan perang kognitif sebagai domain strategis keenam dalam konflik modern.

Teori domestikasi teknologi menunjukkan bahwa alat netral pun bisa berubah fungsi. Saat menyatu dalam kehidupan sehari-hari, ia dapat menjadi senjata struktural.

Kognisi: Medan baru dalam konflik global

AI yang dipersenjatai mampu menyerang tanpa pasukan. Ia bekerja secara otonom, menyusup ke sistem melalui celah algoritmik, mengeksploitasi data, dan berkembang dalam pola serangan yang tak kasatmata.

Dalam konteks ini, kognisi manusia—yakni persepsi, emosi, dan keyakinan—menjadi medan tempur yang nyata.

Hari ini, AI tidak hanya mengotomatisasi pekerjaan, tetapi juga manipulasi kesadaran. NATO menegaskan bahwa medan kognitif adalah domain strategis baru.

Sementara itu, China telah mengintegrasikan strategi Three Warfares: perang opini, perang psikologi, dan perang hukum, sebagai bentuk dominasi kognitif berbasis teknologi.

Contohnya hadir dalam bentuk bot yang menggiring trending topic, deepfake yang menciptakan realitas palsu hingga profiling algoritmik yang menargetkan kelemahan psikologis publik.

Di tangan aktor negara maupun non-negara, AI menjadi alat untuk merekayasa opini, merusak kepercayaan sosial, bahkan mengguncang stabilitas politik—semuanya tanpa menembakkan peluru.

Menyusun doktrin dan kepemimpinan etis di era AI

Sayangnya, Indonesia belum memiliki kerangka etik maupun strategi nasional yang secara tegas membedakan antara AI sebagai alat pelayanan dan AI sebagai senjata.

Perbedaan ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut nilai kebangsaan dan arah kebijakan negara.

BSSN, Kominfo, Wantiknas, dan Wantannas perlu bersinergi merumuskan doktrin AI nasional. Kerangka ini harus menjamin teknologi berkembang dengan tetap berpijak pada demokrasi, keadilan, dan keamanan.

Tanpa panduan ini, penggunaan AI berisiko menjadi sporadis, bahkan represif jika tidak diikuti standar etik yang seragam. Beberapa langkah awal sudah dilakukan.

Stranas KA 2020–2045, Surat Edaran Kominfo No. 9 Tahun 2023, serta Panduan Generatif AI di pendidikan tinggi adalah fondasi awal.

Baca juga: Sipil dan Militer Dalam Penjagaan Ruang Siber

Namun, semuanya masih bersifat normatif dan sektoral. Tanpa arsitektur regulasi yang menyatu dan mengikat, AI berpotensi menjadi teknologi tanpa arah moral.

Sementara itu, sejumlah negara telah melangkah lebih maju. Uni Eropa, AS, dan China telah merumuskan kerangka hukum yang mengikat. Sementara Kanada, Inggris, dan Australia mendorong pendekatan berbasis prinsip dan risiko.

Di sinilah peran negara diuji: bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga penjaga arah etik dan nilai bersama.

AI agentik—yakni AI yang mampu belajar dan bertindak mandiri—menuntut pendekatan antisipatif, bukan reaktif. Penguatan kapasitas nasional tidak cukup dibangun secara teknis semata.

Pengawasan AI di Ruang Siber

Kita perlu audit kebijakan lintas sektor, standar etik yang jelas, serta literasi digital berbasis hak warga. Diplomasi teknologi juga penting untuk cegah penyalahgunaan oleh aktor dalam dan luar negeri.

Jika dibiarkan tanpa audit dan pengawasan, sistem berbasis AI dapat berubah menjadi alat pengumpulan data sensitif, memperkuat bias algoritmik, atau bahkan menjadi infrastruktur kendali sosial.

Maka, yang dibutuhkan bukan semata regulasi, melainkan kepemimpinan etis—pemimpin yang memahami bahwa arah teknologi selalu mencerminkan nilai yang menuntunnya.

Refleksi ini memperkuat seruan yang telah saya sampaikan dalam artikel opini Kompas.com, “Perang Kognitif di Ruang Siber: Saatnya Indonesia Punya Strategi Nasional” (16 Mei 2025).

Di sana saya menekankan bahwa ruang pikir publik adalah infrastruktur strategis, tak kalah penting dari jaringan listrik atau jalur logistik nasional.

Ketika kognisi menjadi medan pertempuran, AI tak bisa lagi dianggap sebagai alat netral. Tanpa strategi nasional yang melindungi ruang kesadaran kolektif, kita hanya tinggal menunggu waktu sebelum pertempuran dimenangkan oleh mereka yang paling menguasai algoritma.

Baca Juga: Artikel Ketahanan Siber Lainnya

Artikel ini sudah tayang di Kolom Kompas

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *