Perpustakaan hadir untuk semua generasi. Dalam ketenangan, literasi menjelma sebagai penjaga martabat bangsa—melampaui usia, waktu, dan tempat.Perpustakaan hadir untuk semua generasi. Dalam ketenangan, literasi menjelma sebagai penjaga martabat bangsa—melampaui usia, waktu, dan tempat.

Martabat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia  adalah tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri. Harkat sendiri bermakna sebagai derajat atau taraf dalam hal kemuliaan. Dengan demikian, martabat bukan semata status sosial, melainkan cara kita menempatkan kehormatan manusia secara utuh. Selanjutnya, saya ingin mengajak untuk berdiskusi bagaimana arti martabat bagi sebuah bangsa dan apa peran perpustakaan di sini.

Menggagas Martabat Bangsa Indonesia

Riza Primahendra (2022)menyebutkan bahwa bangsa bermartabat memiliki tiga unsur, yaitu identitas, karakter, dan nyawa. Inilah yang membuat sebuah bangsa menjadi hidup dan bergerak.

Saya memaknai martabat bukan sekadar hasil dari pencapaian tujuan, melainkan sebagai napas yang memberi arah dan makna bagi bangsa. Jika kita bicara soal tujuan nasional, kita harus merujuk pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat:

\”…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…\”

Tujuan-tujuan itu mulia, namun sering terasa berjalan sendiri-sendiri. Di sinilah saya merasakan perlunya sesuatu yang menyatukan arah dan makna dari seluruh cita-cita itu—dan itulah yang saya maknai sebagai martabat bangsa.

Martabat Bangsa; Visi atau Doktrin Perpustakaan?

Saya bekerja di Perpusnas, yang awal tahun ini mendeklarasikan visi barunya, yaitu “Perpustakaan Hadir Demi Martabat Bangsa”.

Kalimat itu sangat menggugah, karena mengandung kedalaman filosofis yang layak dimaknai lebih dari sebagai pandangan ke depan atau visi. Penyataan itu mengarah kepada doktrin, yang menurut KBBI diartikan sebagai ajaran, pendirian yang tidak akan berubah arah—melampaui periode kepemimpinan bahkan mengakar pada kelembagaan sepanjang hayatnya.

Terlebih lagi pernyataan itu tidak dibatasi oleh rencana kerja strategis yang ditetapkan oleh indikator teknokratik.

Dalam analisis, saya menemukan tidak hanya menyuarakan harapan institusional, tetapi juga mengandung muatan konstitusional, yaitu dari nilai-nilai luhur dalam Pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang bermartabat. Dalam tiga tujuan itulah saya menemukan benang merahnya—bahwa perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, melainkan instrumen negara untuk mencerdaskan, menyejahterakan, dan memuliakan warganya.

Ketika saya mencoba menerokai lebih jauh, ternyata benang merah itu sangat erat. Mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah inti dari layanan perpustakaan yang terus bertransformasi. Dan dalam perjalanan itu, literasi bukan proyek, melainkan jalan panjang menuju kedaulatan berpikir dan keadaban bangsa.

Membangun Doktrin Perpustakaan Indonesia

Di era digital, ancaman terhadap martabat bangsa muncul dalam bentuk baru. Dalam tulisan saya \”Literasi Kebangsaan di Ruang Siber\”, saya mencatat bagaimana identitas bangsa terfragmentasi, bahkan ideologi terpecah belah.

Dalam konteks ini, perpustakaan harus menjadi penjaga nalar kebangsaan. Ia bukan hanya fasilitator literasi, tapi pemandu orientasi kultural dan ideologis bangsa.

Transformasi digital perpustakaan harus menjadi bagian dari ketahanan pengetahuan bangsa. Bukan sekadar proyek teknologi, melainkan cara menjaga jati diri dalam arus informasi global.

Strategi pengembangan koleksi nasional juga harus responsif terhadap kebutuhan pembaca, pembangunan, dan budaya yang sedang kita rawat.

Perpustakaan, Demokrasi dan Martabat Bangsa

Ray Oldenburg (1989) membagi ruang kehidupan ke dalam 3 jenis. Yang pertama adalah tempat kita tinggal, yang kedua adalah tempat berusaha dan mencari nafkah kantor, dan yang ketiga tempat kita bersosialisasi dan relaks.

Perpustakaan adalah ruang ketiga—bukan rumah yang terlalu personal, bukan kantor yang terlalu struktural. Ia hadir sebagai tempat yang akrab, terbuka, dan produktif secara intelektual.

Di ruang ini, tak ada penilaian terhadap siapa yang datang. Setiap orang bebas mengekspresikan diri, belajar, dan tumbuh bersama tanpa sekat.

Inilah makna demokratisasi di perpustakaan. Demokrasi bukan sekadar pemilu, tapi ruang untuk menyalurkan aspirasi, menemukan solusi, dan hidup setara. Perpustakaan menjadi ruang yang mempertemukan pengetahuan, demokrasi, dan kebangsaan.

Perpustakaan Hidup, Martabat Bangsa Menyala

Jika harkat martabat bangsa adalah wajah kita di hadapan dunia, maka perpustakaan adalah cermin tempat kita menatapnya. Bangsa yang merawat perpustakaannya akan terus bermartabat. Maka selama perpustakaan dijaga, martabat bangsa akan tetap menyala.

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *