Donald Trump memberikan pernyataan resmi tentang kebijakan Executive Order Siber 2025 di Gedung Putih.Trump saat mengumumkan kebijakan Executive Order Siber terbaru pada 2025.

Presiden Donald Trump bukan sosok yang lazim dikaitkan dengan urusan teknokratis seperti keamanan siber. Namun, dalam konteks kebijakan, ia justru tercatat sebagai salah satu presiden Amerika Serikat yang paling konsisten mendorong lahirnya executive order (EO) di bidang ini.

Langkah awal dimulai dari EO 13800 tahun 2017, yang memerintahkan penguatan sistem federal dari serangan siber. Kebijakan ini dilanjutkan dengan EO-EO lanjutan yang menekankan kolaborasi publik-swasta, penataan kerangka arsitektur digital, hingga kewajiban audit tahunan keamanan siber di seluruh sistem pemerintahan. Di bawah Trump, isu siber bukan sekadar masalah teknis, tetapi telah bertransformasi menjadi bagian integral dari doktrin pertahanan negara.

Lebih baru, EO yang dirilis pada Juni 2025 kembali menegaskan pentingnya memperkuat postur keamanan nasional di era digital. Dokumen ini memuat sejumlah agenda strategis: pemutakhiran kerangka Zero Trust Architecture, interoperabilitas sistem antarlembaga, audit berkala, serta kemitraan erat dengan sektor swasta dalam melindungi infrastruktur vital.

Baca Juga
Executive Order 14306 of June 6, 2025Sustaining Select Efforts To Strengthen the Nation\’s Cybersecurity and Amending Executive Order 13694 and Executive Order 14144

Dengan demikian, langkah ini mencerminkan kesinambungan dan visi jangka panjang. Ia tidak hanya membangun proteksi digital, tetapi juga mengonsolidasikan tata kelola pertahanan siber secara lintas sektor—sesuatu yang belum sepenuhnya kita miliki di Indonesia.

\"Diskusi

Ketegasan Eksekutif yang Masih Absen di Indonesia

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, presiden turun tangan langsung melalui kebijakan strategis. Sementara itu, di Indonesia, tarik-ulur sektoral masih menjadi penghalang utama. Kominfo, BSSN, TNI, bahkan lembaga sipil dan militer lainnya belum berada dalam satu garis komando yang kokoh dan terintegrasi.

Ironisnya, hingga kini tidak ada produk hukum sekuat EO yang benar-benar mampu mengkonsolidasikan seluruh upaya pertahanan siber secara nasional. Yang tersedia hanya Perpres teknis dan bentuk koordinasi yang longgar. Tak satu pun memiliki karakter otoritatif dan daya paksa lintas sektor yang diperlukan.

Padahal, ancaman nyata terus membayangi. Infrastruktur digital Indonesia—mulai dari energi, keuangan, transportasi, hingga pendidikan—semakin rentan. Ketergantungan terhadap sistem digital global membuat kita terbuka terhadap potensi serangan siber skala besar. Sayangnya, kesiapsiagaan kita masih jauh dari memadai.

Akibat dari kelemahan ini, tanpa komando strategis yang tegas dari pucuk tertinggi pemerintahan, respons terhadap ancaman akan selalu reaktif dan fragmentaris. Kita bergerak dari krisis ke krisis, bukan dari perencanaan ke eksekusi yang matang.

Indonesia: Kekosongan Komando dan Doktrin

Kondisi ini bukan tanpa peringatan. Dalam kolom saya sebelumnya di Kompas—“Komando Krisis Siber: Indonesia Perlu Bergerak Cepat” (12 Mei 2025) dan “Tanpa Doktrin, Ruang Siber Jadi Lahan Tak Bertuan” (6 Mei 2025)—saya telah menyoroti dua kelemahan mendasar: absennya komando tunggal dan belum adanya doktrin pertahanan siber nasional yang jelas.

Situasi ini menuntut Indonesia untuk membangun narasi siber nasional yang bukan hanya responsif, tetapi juga strategis dan berkelanjutan. Doktrin pertahanan siber tidak bisa dipandang sebagai isu teknis semata. Ia harus menjadi fondasi ideologis dalam menata ulang struktur kewenangan, arah anggaran, dan pengembangan SDM keamanan digital.

Baca Juga:

Oleh karena itu, EO terbaru dari AS menjadi pelajaran penting bahwa strategi hanya bisa berjalan jika ditopang oleh keberanian politik tingkat tinggi. Dan keberanian itu hanya muncul dari kepemimpinan yang memiliki visi jangka panjang serta keberanian untuk menabrak zona nyaman birokrasi.

Amerika Serikat: Dari Strategi Menuju Eksekusi Nasional

Melalui serangkaian EO tersebut, Amerika Serikat membuktikan bahwa pertahanan siber adalah urusan negara secara menyeluruh—bukan semata urusan kementerian teknis. Dalam situasi darurat digital, kecepatan mengambil keputusan adalah penentu utama. Negara yang lambat bereaksi bisa kalah sebelum perang benar-benar dimulai.

Sebaliknya, Indonesia memang telah memiliki beberapa regulasi: Perpres SPBE, Satu Data Indonesia, serta pembentukan BSSN. Namun semuanya masih bergerak dalam kerangka koordinasi yang longgar—bukan dalam komando strategis yang terpusat. Belum ada “EO versi Indonesia” yang menetapkan mandat jelas, siapa berwenang atas apa, dan bagaimana respons dijalankan saat darurat digital terjadi.

Dalam artikel saya di Kompas, “Kecerdasan Buatan di Perang Siber: Dari Layanan ke Senjata” (27 Mei 2025), saya menekankan bahwa teknologi kini telah menjelma menjadi senjata geopolitik. Maka wajar jika pengaturannya juga harus bersifat strategis dan lintas sektor, bukan sekadar administratif.

EO di AS telah menyatukan visi, otoritas, dan eksekusi dalam satu dokumen kepresidenan. Inilah pendekatan yang patut menjadi inspirasi bagi Indonesia.

Kesimpulan: Jika Trump Saja Bisa, Kapan Indonesia?

Kita boleh tidak sepakat dengan gaya politik Trump. Namun dalam hal keamanan siber, ia telah memberi teladan: kepemimpinan tidak bisa ditunda. Dalam dunia digital yang terus berubah, ketegasan jauh lebih penting daripada keraguan.

Indonesia tidak lagi butuh roadmap tambahan yang berhenti di atas kertas. Kita butuh executive order versi Indonesia—entah dalam bentuk Keppres, Inpres, atau bahkan revisi undang-undang—yang mengikat seluruh kementerian dan lembaga, lengkap dengan mekanisme audit, evaluasi, dan pengendalian nasional.

Sederhananya, kita sudah terlalu lama membiarkan ruang siber menjadi kawasan tanpa doktrin. Jika Trump sudah bisa, kapan Indonesia menyusul?

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *