Hacker gagal mengakses sistem siber dengan pesan “Access Denied” di layar komputer.Seorang peretas berusaha menembus sistem digital namun akses ditolak, mencerminkan urgensi ketahanan siber nasional.

Dalam lanskap konflik modern, kehadiran milisi siber (dalam bahasa inggris disebut Cyber Militia) atau aktor nonnegara yang terorganisir untuk melakukan operasi siber—telah menjadi penanda zaman. Fenomena ini mengaburkan batas antara sipil dan militer. Menariknya, perkembangan tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara dengan kapasitas teknologi tinggi. Fenomena ini juga muncul di kawasan yang rentan terhadap eskalasi ketahanan nasional digital dan geopolitik. Akibatnya, dinamika baru pun muncul dalam persaingan global.

| Baca Juga: Sipil dan Militer dalam Penjagaan Ruang Siber

Di antara negara-negara NATO, pendekatan terhadap milisi siber memperlihatkan spektrum strategi yang luas. Negara yang berada di garis depan potensi konflik—memilih memberdayakan warganya melalui mekanisme sukarelawan resmi. Hal ini dapat dilihat pada negara yang berbatasan dengan Rusia.

Negara NATO Berbatas dengan Rusia

Sebagai contoh Estonia memiliki Estonian Defence League’s Cyber. Unit ini didirikan sebagai respons atas serangan siber masif yang melumpuhkan Estonia pada 2007. Bekerja sebagai pasukan sukarelawan di bawah Kaitseliit (Estonian Defence League), mereka berfokus pada pertahanan negara dan perlindungan infrastruktur kritis. Keseluruhan unit tersusun resmi dalam kerangka hukum Estonia. Setiap anggotanya melewati proses seleksi ketat dan pelatihan khusus. Mereka berada di bawah pengawasan negara terutama saat situasi krisis.

Demikian juga, Ukraina dengan UCA (Ukrainian Cyber Alliance) dibentuk pada musim semi 2016 melalui penggabungan empat kelompok hacktivistFalconsFlame, Trinity, RUH8, dan CyberHunta, sebagai respons atas agresi Rusia di Ukraina. Mereka terkenal dengan operasi besar seperti #opDonbasLeaks yang berhasil meretas sekitar 100 situs militan DPR, serta penyerangan terhadap ransomware Trigona dengan menyita data dan melumpuhkan server pelaku. UCA berkolaborasi erat dengan badan intelijen Ukraina dan Inform Napalm, berfokus pada pertahanan, ekspos data musuh, serta operasi ofensif untuk melemahkan strategi digital Rusia.

Dapat kita lihat, negara-negara tersebut membangun unit untuk mengintegrasikan ahli TI sipil ke dalam sistem pertahanan nasional. Dengan demikian, cadangan siber yang siap diaktifkan saat ancaman meningkat pun tercipta. Langkah ini menunjukkan kesadaran bahwa menghadapi serangan siber bukan hanya tanggung jawab pasukan reguler. Kecepatan, fleksibilitas, dan kecerdikan komunitas digital juga dibutuhkan.

Negara NATO Lainnya

Sebagian besar negara NATO dengan kapasitas militer besar dan stabilitas politik tinggi, seperti Jerman, Prancis, Inggris, dan Italia, memilih mempertahankan model profesionalisasi penuh. Mereka mendirikan cyber command atau unit siber khusus yang berada di bawah kendali ketat kementerian pertahanan, untuk menjaga disiplin rantai komando, memastikan prosedur hukum yang terukur, dan mendukung interoperabilitas antarsekutu. Meski pertahanan siber dijalankan secara tersentralisasi dan profesional, kolaborasi erat dengan sektor swasta tetap dibangun, mengingat banyak infrastruktur kritis dikelola entitas nonpemerintah. Hubungan militer-sipil ini memperlihatkan bahwa ketahanan national digital tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan militer semata, tetapi membutuhkan dukungan ekosistem teknologi nasional.

Sementara itu, Finlandia—yang resmi menjadi anggota penuh NATO pada 2023—mengambil pendekatan berbeda. Negara ini tidak membentuk milisi siber formal, tetapi mengandalkan jaringan sukarelawan sektor teknologi yang dilibatkan dalam latihan besar seperti Locked Shields. Kontribusi mereka tetap signifikan meski bukan bagian dari unit tempur resmi, menegaskan bahwa inovasi pendekatan tetap dibutuhkan dalam menghadapi ancaman siber.

Negara NON NATO

Di luar NATO, fenomena milisi siber menjadi semakin kompleks. Kelompok peretas independen sering tumbuh dengan motivasi nasionalisme, ideologi, atau kepentingan ekonomi. Negara-negara memanfaatkan mereka sebagai instrumen untuk mempertahankan plausible deniability—kemampuan menyangkal keterlibatan resmi. Hal ini dimaksudkan supaya operasi ofensif yang dirancang melemahkan musuh tanpa risiko konfrontasi militer langsung. Kompleksitas ini menegaskan bahwa milisi siber bukan hanya fenomena negara besar. Lebih dari itu, ia juga alat bagi berbagai pihak untuk menyeimbangkan kekuatan di dunia maya.

Iran, misalnya, menunjukkan agresivitas melalui Iranian Cyber Army yang eksis sejak 2005–2006 di bawah kendali IRGC (Islamic Revolutionary Guard Corps). Mereka memulai aksinya dengan serangan defacement ke situs besar seperti Twitter dan Baidu, kemudian berkembang menjadi Advanced Persistent Threats (APT) dan spionase industri demi mendukung kepentingan geopolitik Teheran.

Di Turki, TurkHackTeam menjadi contoh milisi siber nasionalis yang menamakan diri “Turkish Cyber Army” berlandaskan ideologi Kemalisme. Sejak 2002, kelompok ini rutin melakukan serangan DDoS dan defacement ke target asing untuk menjaga citra dan kepentingan Turki di ranah digital.

Sementara itu, India menampilkan kemunculan Indian Cyber Force (ICF) pada 2022 sebagai hacktivis pro-India yang aktif meretas situs di Pakistan, China, Kanada, dan Bangladesh. ICF kerap membocorkan data lembaga strategis dengan narasi Hindu-nasionalis, bahkan kadang menunjukkan simpati pada Israel. Aktivitas mereka berlangsung paralel dengan penguatan Defence Cyber Agency resmi India, meski ICF tetap beroperasi secara independen.

Jaringan Milisi Siber Pro-Kremlin di Rusia

Sebaliknya, Rusia memiliki jaringan hacktivis pro-Kremlin yang terorganisir dengan baik, seperti People’s Cyber Army, yang aktif melancarkan serangan DDoS berskala besar ke berbagai target, termasuk infrastruktur nuklir Ukraina. Kelompok ini kerap berkolaborasi dengan aktor lain seperti NoName057(16) dan Z-Pentest, menunjukkan tingkat koordinasi yang signifikan antar hacktivis pro-Rusia. Koordinasi ini menegaskan bahwa aktivitas mereka tidak hanya bersifat sporadis, tetapi menjadi bagian dari strategi digital yang mendukung kepentingan geopolitik Rusia.

Cyber Protection Teams dan Cyber National Guard Amerika Serikat

Amerika Serikat mengadopsi pendekatan unik dengan mengintegrasikan Cyber Protection Teams (CPT) ke dalam National Guard di berbagai negara bagian. Sejak 2014, CPT dibentuk sebagai cadangan siber yang memanfaatkan profesional TI sipil yang sehari-hari bekerja di sektor swasta, tetapi dapat dipanggil untuk membantu pemerintah negara bagian atau federal dalam merespons insiden siber besar. Model ini memungkinkan AS memiliki pasukan cadangan dengan keahlian mutakhir yang fleksibel dan cepat diaktifkan tanpa harus merekrut personel militer penuh waktu.

Baru-baru ini, pada Mei 2025, US National Guard menggelar latihan besar bertajuk Cyber Shield 2025—salah satu simulasi ketahanan siber terbesar di Amerika. Latihan ini melibatkan lebih dari 800 peserta dari berbagai unit National Guard negara bagian, lembaga federal, dan mitra internasional. Peserta berlatih menghadapi skenario serangan siber yang menargetkan infrastruktur energi, kesehatan, dan komunikasi, termasuk simulasi serangan ransomware yang memicu kepanikan publik. Latihan ini menekankan kemampuan deteksi cepat, koordinasi lintas lembaga, dan pemulihan sistem vital dalam waktu singkat, sambil mengasah keterampilan teknis dan komunikasi para anggota CPT.

Pendekatan ini membuktikan keunggulan sinergi antara kemampuan sipil dan militer untuk menghadapi serangan siber yang kian kompleks, termasuk serangan ransomware, gangguan infrastruktur kritis, hingga kampanye disinformasi yang dapat mengancam ketertiban publik.

Keberhasilan Cyber Shield 2025 semakin memperkuat konsep National Guard siber sebagai model ketahanan digital berbasis kolaborasi antara negara, sektor swasta, dan profesional TI yang dapat dicontoh negara lain.

Milisi Siber sebagai Bagian Strategi Politik Global

Lebih jauh, kehadiran milisi siber bukan hanya respons atas kebutuhan pertahanan. Mereka juga bagian dari strategi politik global. Peran mereka sangat signifikan dalam operasi informasi, spionase, sabotase digital, hingga kampanye disinformasi yang bisa mengacaukan stabilitas sosial dan politik lawan. Pertarungan di ranah siber tidak lagi sekadar soal melindungi data. Ranah ini telah berubah menjadi arena untuk memengaruhi opini publik, menimbulkan kepanikan, dan menekan pengambilan keputusan strategis negara target.

Merespons fenomena ini, negara yang serius membangun ketahanan digital tidak cukup hanya menyiapkan firewall atau tim reaksi cepat. Mereka juga membutuhkan kemampuan penetrasi intelijen ke ekosistem milisi siber musuh. Infiltrasi di forum daring, operasi kontra-narasi, serta teknik memecah kesatuan kelompok milisi kini menjadi bagian integral dalam doktrin pertahanan siber modern. Namun, strategi ini membawa tantangan serius. Terutama terkait yurisdiksi hukum internasional, etika operasi lintas batas, dan risiko eskalasi konflik. Oleh karena itu, strategi proaktif harus dirancang dengan kehati-hatian dan koordinasi yang matang.

Tantangan dan Peluang Ketahanan Digital Abad ke-21

Oleh karena itu, ketahanan digital abad ke-21 tidak lagi hanya soal kemampuan teknis. Lebih penting, keberhasilan strategi ini bertumpu pada sinergi pemerintah, komunitas teknologi, dan kesadaran masyarakat sipil. Negara yang mampu mengintegrasikan elemen-elemen tersebut dengan kerangka hukum dan etika yang terjaga akan memiliki keunggulan strategis. Mereka akan lebih siap menghadapi perang siber yang tak kasatmata. Di sinilah tantangan sekaligus peluang: membangun pertahanan siber bukan sekadar proyek teknologi, melainkan investasi dalam kepercayaan publik dan legitimasi internasional.

Refleksi untuk Indonesia: Ketahanan Siber di Tengah Fenomena Milisi Global

Salah satu fondasi penting untuk memperkuat pertahanan digital adalah kejelasan regulasi. RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) diharapkan menjadi payung regulasi nasional. Namun, pembahasannya telah lama mandek. Draf RUU KKS hanya memuat hal-hal mendasar, misalnya penetapan BSSN sebagai otoritas siber, kewajiban manajemen risiko bagi penyelenggara sistem elektronik, klasifikasi insiden, tata cara pelaporan, dan sanksi administratif. Namun, belum ada kejelasan tentang pelibatan komunitas TI, koordinasi antarlembaga, atau prosedur penanganan insiden lintas batas.

Pentingnya Ketahanan Berbasis Komunitas Digital

Selain regulasi, pengalaman negara Baltik yang mengintegrasikan sukarelawan teknologi hingga negara besar yang menekankan profesionalisasi dengan komando siber menegaskan satu hal penting. Ketahanan digital bukan hanya soal teknologi, tetapi juga sumber daya manusia, jejaring, dan legitimasi hukum.

Bagi Indonesia, refleksi ini penting pada tiga aspek strategis. Pertama, ketahanan berbasis komunitas digital. Ekosistem talenta TI nasional—mulai dari kampus, komunitas sumber terbuka, hingga startup—belum terintegrasi dalam kerangka pertahanan nasional. Padahal, negara seperti Estonia dan Lithuania telah membuktikan sukarelawan siber terlatih bisa menjadi kekuatan cadangan. Mereka mendukung deteksi dini, pemulihan infrastruktur vital, dan penanggulangan disinformasi. Ini menunjukkan bahwa kolaborasi negara dengan komunitas digital dapat memperkuat ketahanan.

Lemahnya Kerangka Hukum dan Kebutuhan Strategi Proaktif

Berikutnya, kerangka hukum yang lemah. Tanpa RUU KKS yang menyeluruh, pelibatan komunitas TI rentan tumpang tindih, disalahgunakan, atau tidak terkoordinasi dengan lembaga strategis seperti BSSN, TNI, dan Polri. Kondisi ini juga menyulitkan pemerintah menyelaraskan kebijakan dengan UU Perlindungan Data Pribadi.

Selain itu, strategi proaktif sangat dibutuhkan. Serangan siber tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menargetkan psikologi publik melalui disinformasi. Pertahanan siber harus diarahkan pada kontra-narasi digital, penguatan literasi, dan pembentukan pusat kendali informasi yang responsif. Semua ini hanya bisa terwujud melalui kolaborasi erat antarlembaga dan sektor privat, sebagaimana model Cyber Protection Teams di Amerika Serikat. Dengan strategi proaktif, potensi ancaman dapat diantisipasi sebelum berdampak luas.

Potensi dan Kerentanan Peretas Domestik

Tak kalah penting, dinamika kelompok peretas domestik juga menunjukkan potensi sekaligus kerentanan. Berbagai kelompok seperti Gantengers Crew, Indonesian Cyber Army, atau Jember Hacker Team pernah menyerang situs pemerintah maupun internasional dengan motif eksistensi atau solidaritas isu tertentu. Namun, aktivitas mereka sporadis dan tidak terkoordinasi secara hukum. Ini berpotensi memicu ketegangan diplomatik bila menyerang target luar negeri. Tren ransomware pun semakin marak. Rumah sakit, kampus, hingga pemerintah daerah menjadi sasaran. Ini mencerminkan lemahnya postur keamanan digital nasional. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera menyiapkan mekanisme resmi untuk mengajak komunitas TI berpartisipasi dalam mendeteksi dan merespons insiden secara kolektif.

Kesimpulan

Dari keseluruhan paparan ini, fenomena milisi siber global menegaskan bahwa menghadapi perang di era digital menuntut strategi komprehensif. Strategi tersebut mencakup regulasi yang kuat, pemberdayaan sumber daya manusia nasional, hingga sinergi pemerintah, swasta, dan komunitas teknologi. Indonesia memiliki potensi besar. Namun, tanpa kepastian hukum seperti RUU KKS yang lengkap dan mekanisme pelibatan sukarelawan siber yang terorganisasi, kita hanya akan menjadi sasaran empuk serangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera menuntaskan pembahasan RUU KKS agar relevan dengan tantangan nyata. Pemerintah juga perlu menyiapkan program pelatihan dan integrasi komunitas TI untuk memperkuat ketahanan digital nasional.

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *