Ruang Pengendali Siber Saat Perang KognitifRuang Pengendali Siber Saat Perang Kognitif

Perang siber kognitif tak lagi bisa dianggap ancaman masa depan. Ia telah hadir, menyusup dalam kehidupan sehari-hari kita—dan Indonesia adalah salah satu medan utamanya. 

Ruang Siber dan Perang Kognitif di Indonesia

Laporan Digital 2025 dari We Are Social dan Meltwater mencatat bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 7 jam 22 menit per hari di internet. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata global, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang yang hanya 6 jam 38 menit.

Penetrasi internet Indonesia mencapai 74,6 persen, dengan rasio koneksi seluler 125:100. Ruang digital kini menjadi ruang kehidupan dominan—bukan hanya pelengkap dunia nyata, melainkan ruang di mana persepsi dan arah berpikir dipertaruhkan.

Justru karena intensitas itulah, kita menjadi makin rentan terhadap bentuk serangan yang paling senyap, tapi sistematis: perang kognitif. 

Baca juga: Komando Krisis Siber: Indonesia Perlu Bergerak Cepat 

Pikiran sebagai medan tempur baru 

Perang kognitif adalah bentuk konflik non-konvensional yang menyasar kesadaran publik—ruang paling rentan terhadap infiltrasi ideologis dan distorsi sejarah. 

Ia bekerja diam-diam melalui algoritma, narasi viral, dan rekayasa afeksi. Tujuannya bukan menghancurkan infrastruktur, melainkan membelokkan opini, menumpulkan daya kritis, dan membelah masyarakat dari dalam.

Yang diserang bukan lagi jaringan komputer, melainkan kesadaran publik. Kesadaran ini kini menjadi ladang terbuka bagi infiltrasi narasi dan manipulasi sejarah.

Di sinilah titik krusialnya: kita belum punya kerangka pertahanan yang memadai untuk medan ini. 

Selama ini, strategi digital kita masih berkutat pada keamanan siber: firewall, enkripsi, dan perlindungan sistem informasi. Dalam dunia yang digerakkan oleh emosi dan persepsi, itu tidak cukup. 

Serangan kognitif tidak menargetkan sistem, tetapi kesadaran. Inilah tantangan utama yang tak dapat diselesaikan hanya dengan perangkat teknis atau slogan literasi semata. 

Sayangnya, belum ada doktrin nasional yang secara eksplisit merumuskan bagaimana ruang berpikir bangsa ini harus dilindungi. 

Baca juga: Tanpa Doktrin, Ruang Siber Jadi Lahan Tak Bertuan 

Berbagai institusi seperti TNI, Polri, BSSN, BIN, Kemenkomdigi, ANRI, dan Perpusnas sejatinya telah bergerak di jalurnya masing-masing. Namun, tanpa strategi nasional yang memayungi, kerja-kerja itu berisiko berjalan sendiri-sendiri. 

Akibatnya, ruang digital kita menyerupai wilayah netral. Ia menjadi lahan tak bertuan yang mudah dimasuki oleh narasi asing yang lebih dulu terorganisasi.

Strategi nasional pertahanan kognitif 

Indonesia membutuhkan lompatan strategis: Strategi Nasional Pertahanan Kognitif. Ini bukan tambahan agenda, melainkan kebutuhan pokok untuk menjaga keberlangsungan berpikir sebagai bangsa. 

Strategi ini harus memandang kesadaran publik sebagai infrastruktur vital nasional—sejajar dengan pertahanan teritorial. 

Pendekatannya tidak bisa sektoral. TNI perlu memasukkan doktrin mind warfare ke dalam sistem komando pertahanan. 

Polri harus memperluas yurisdiksinya terhadap kejahatan narasi dan disinformasi. BSSN mesti menjadi pelindung arsitektur persepsi publik, bukan hanya penjaga infrastruktur digital. 

BIN perlu bergerak lebih jauh dari pengawasan, menuju pemetaan narasi dan kontra-operasi pengaruh asing. 

Pengelolaan Ruang Digital Publik

Selain sektor pertahanan dan keamanan, pengelolaan ruang digital publik juga memegang peran strategis. 

Di saat sama, Kementerian Komunikasi dan Digital harus menata ulang regulasi terhadap algoritma platform, serta mendorong edukasi digital yang tidak hanya teknis, tetapi juga etis dan ideologis. 

ANRI dan Perpusnas perlu difungsikan sebagai penjaga memori kolektif bangsa: yang satu menyusun ulang sejarah dengan arsip yang utuh, yang lain menyemai nalar publik lewat literasi kebangsaan sistematis. 

Baca juga: Sipil dan Militer Dalam Penjagaan Ruang Siber 

Namun, seluruh upaya sektoral ini membutuhkan arahan pusat yang mampu menyatukan visi di tingkat negara. 

Agar semua itu terkoordinasi, Wantannas harus berperan sebagai dirigen orkestra kebijakan, sementara Lemhannas menjadi lokomotif perumusan doktrin dan kurikulum pertahanan kognitif nasional. 

Arsitektur digital tak pernah bebas nilai. Karena itu, lembaga pengaturnya harus menempatkan etika dan kedaulatan di atas efisiensi. 

Di sisi hilir, Wantiknas wajib memastikan bahwa seluruh ekosistem TIK nasional dibangun di atas fondasi keterbukaan, interoperabilitas, dan kedaulatan informasi—bukan sekadar efisiensi prosedural. 

Kita boleh tertinggal dalam teknologi, kalah dalam diplomasi, bahkan disusupi dalam sistem. Jangan sampai kita kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih sebagai bangsa. Karena ketika pikiran tak lagi kita kuasai, maka arah negara ini bukan lagi kita yang tentukan. 

Kita sedang berada di persimpangan: apakah kita akan mempertahankan pikiran sebagai milik bangsa, atau menyerahkannya pada mesin yang tak kita kendalikan. 

Perang kognitif bukan lagi soal nanti. Ia sudah berlangsung. Jika kita tidak segera membangun pertahanan, yang akan berpikir untuk kita esok hari bukan lagi mereka yang memahami cita bangsa, tetapi pihak luar yang menguasai algoritma dan arah berpikir kita.

Artikel ini sudah diterbitkan di Kolom Kompas, klik di sini

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *