Hari Pustakawan Indonesia, 7 Juli, bukan hanya momentum simbolik. Ini adalah panggilan bersama untuk merenungkan: sudahkah pustakawan benar-benar hadir demi martabat bangsa? Sudahkah mereka memainkan peran strategis sebagai penjaga keutuhan pengetahuan, bukan hanya pelengkap birokrasi?
Di tengah derasnya arus informasi dan cepatnya perkembangan teknologi, pustakawan adalah sumber daya manusia yang sangat strategis. Mereka berperan besar dalam menentukan kualitas literasi bangsa. Lebih dari itu, pustakawan bukan hanya pengurus katalog atau penjaga buku. Mereka adalah kurator pengetahuan yang menata dan menyebarluaskan informasi relevan bagi masyarakat. Dengan kemampuan ini, pustakawan membimbing publik melewati banjir data dan bias algoritma. Dengan demikian, mereka memastikan masyarakat tidak terjebak dalam disinformasi.
Namun, di balik peran strategis mereka dalam menjaga kedaulatan pengetahuan di era geokognitif, ada tantangan mendasar yang sering luput dibahas: integritas pustakawan itu sendiri.
Di era geokognitif, di mana pertarungan pengaruh terjadi melalui informasi, pustakawan dituntut tidak hanya cakap literasi, tetapi juga memiliki integritas tinggi. Sebab, pengetahuan yang dikurasi secara tidak jujur atau bias hanya akan memperkuat polarisasi dan memperlemah daya pikir kritis masyarakat.
| Baca juga Pustakawan dan Geokognitif
Pustakawan di Pusaran Kekuasaan dan Ancaman Integritas
Di era geokognitif, di mana pertarungan pengaruh terjadi melalui informasi, pustakawan dituntut tidak hanya cakap literasi, tetapi juga memiliki integritas tinggi. Sebab, pengetahuan yang dikurasi secara tidak jujur atau bias hanya akan memperkuat polarisasi dan memperlemah daya pikir kritis masyarakat. Semakin strategis posisi perpustakaan, semakin besar peluang bersinggungan dengan kepentingan politik atau ekonomi. Sebagaimana saya uraikan dalam tulisan Politik Kekuasaan di Balik Rak Buku, perpustakaan tidak selalu steril dari intervensi pihak yang ingin memanfaatkan koleksi atau ruang baca untuk kepentingan tertentu.
Dalam praktik sehari-hari, banyak pustakawan bekerja di lingkungan yang rentan terhadap praktik tidak berintegritas. Hal ini sering terjadi terutama dalam pengadaan koleksi bernilai anggaran besar. Buku, jurnal, dan perangkat teknologi informasi adalah aset mahal yang mudah disalahgunakan jika tidak dikelola dengan prinsip transparansi. Konflik kepentingan pun kerap muncul, mulai dari pengaturan vendor hingga pemilihan judul koleksi yang diarahkan demi keuntungan tertentu.
Di sinilah amanah besar seorang pustakawan diuji. Mereka harus menjaga integritas pada setiap tahap pengelolaan anggaran. Selain itu, mereka harus memastikan koleksi hanya dibeli untuk kebutuhan literasi masyarakat. Integritas pustakawan menjadi benteng pertama agar perpustakaan tidak berubah menjadi ladang korupsi yang merugikan publik.

Tantangan Literasi di Era Geokognitif
Selain ancaman dari luar, pustakawan juga menghadapi tantangan literasi yang semakin kompleks. Kita hidup di era geokognitif, di mana dominasi atas pikiran manusia menjadi arena baru dalam persaingan global. Saat ini, krisis literasi palsu merebak. Banyak orang merasa “cerdas” hanya dengan membaca potongan informasi viral, tanpa keterampilan berpikir kritis.
| Baca juga: Mencerdaskan Perpustakaan
Lebih jauh, teknologi AI generatif menambah dimensi tantangan tersebut. Konten buatan mesin sering terlihat kredibel, padahal bisa menyebarkan narasi menyesatkan. Oleh karena itu, pustakawan harus mendampingi masyarakat memahami risiko dan peluang teknologi ini. Mereka juga perlu mengajarkan cara menilai kredibilitas informasi digital. Selain itu, pustakawan harus membangun literasi yang tidak hanya fungsional, tetapi juga kritis dan reflektif. Dengan demikian, mereka bukan sekadar fasilitator baca, tetapi menjadi pendamping literasi digital yang membantu masyarakat menghadapi realitas baru.
| Baca juga Perpustakaan Era AI Menyapa, Tak Hanya Menyediakan
Kompetensi Pustakawan: Integritas dan Kapasitas SDM
Untuk menjawab tantangan tersebut, kompetensi pustakawan menjadi kunci transformasi. Tantangan terbesar tidak terletak pada megahnya bangunan perpustakaan. Sebaliknya, tantangan ada pada kemampuan dan integritas pustakawan itu sendiri. Mereka perlu mengembangkan keterampilan dalam menafsirkan informasi, menguasai literasi digital, serta memiliki kemampuan komunikasi publik yang efektif. Kepekaan sosial juga penting agar pustakawan dapat mendekatkan pengetahuan kepada masyarakat yang paling rentan.
Selain itu, mereka harus mampu menjaga diri dari godaan konflik kepentingan dalam pengelolaan koleksi dan anggaran. Sebab, tanggung jawab pustakawan bukan hanya mengurus buku. Mereka juga harus memastikan setiap rupiah yang diamanahkan benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas literasi bangsa.
| Baca juga Hidup Adalah Pilihan, Korupsi Juga
Kebijakan: Wajah Regulasi yang Belum Berpihak
Setelah memahami tantangan di tingkat individu, kita juga harus melihat persoalan di tingkat kebijakan. Sayangnya, kebijakan nasional hingga saat ini masih menempatkan pustakawan sebagai pelaksana teknis semata. kebijakan dan regulasi saat ini belum cukup menempatkan pustakawan sebagai aktor strategis. Tidak adanya standar lintas kementerian untuk pembinaan karier pustakawan di sekolah, madrasah, dan perpustakaan daerah menyebabkan kesenjangan kompetensi yang terus melebar.
Padahal, dalam era Asta Cita yang menekankan penguatan SDM dan inklusi sosial, pustakawan seharusnya diakui sebagai agen strategis. Mereka berperan penting dalam membentuk manusia Indonesia yang kritis, cerdas, dan berdaulat atas pikirannya. Maka, revisi regulasi yang menetapkan jalur karier jelas, pembinaan kompetensi berkelanjutan, serta penghargaan setara dengan profesi pendidik harus segera diwujudkan.
| Baca juga: Hilangnya Perpustakaan dalam Mutu Pendidikan Tinggi
Momentum untuk Membangun Martabat Bangsa
Dengan pemahaman menyeluruh atas tantangan individu dan kebijakan, Hari Pustakawan Indonesia 7 Juli 2025 harus menjadi titik balik. Momentum ini penting untuk menegaskan peran pustakawan sebagai subjek strategis pembangunan bangsa. Oleh karena itu, semua pihak—pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat—harus mendukung pustakawan sebagai garda depan literasi kritis. Mereka adalah penjaga integritas pengetahuan dan pengawal akuntabilitas pengelolaan koleksi.
Kita tidak boleh lagi melihat pustakawan hanya sebagai petugas administrasi. Mereka adalah arsitek kognisi publik yang berperan penting dalam menghadirkan informasi akurat, merawat demokrasi, dan membangun ketahanan kognitif bangsa. Hanya dengan pustakawan yang profesional, berintegritas, dan visioner, visi “Perpustakaan Hadir Demi Martabat Bangsa” dapat benar-benar terwujud.
Sebuah Panggilan
Mari jadikan Hari Pustakawan Indonesia bukan hanya seremoni tahunan, tetapi momentum kolektif. Kita harus memperkuat pustakawan sebagai SDM strategis bangsa: insan yang cakap, berani menjaga integritas, dan berkomitmen pada demokrasi pengetahuan. Sebab, hanya dengan pustakawan yang demikian, kita dapat membangun bangsa yang cerdas, tangguh, dan bermartabat di tengah era yang semakin kompleks.