Saya tidak pernah membayangkan bahwa tulisan-tulisan kecil saya—yang lahir dari kegelisahan dan tanggung jawab intelektual sebagai warga negara—akan sampai ke tangan pejabat tinggi negara. Apalagi sampai membuka pintu dialog dengan sosok seperti Letnan Jenderal TNI (Purn.) Nugroho Sulistyo Budi, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Namun itulah yang terjadi.
Pada 11 Juli 2025, saya mendapat kehormatan besar untuk berdiskusi langsung dengan beliau selama 2,5 jam penuh di Ruang Rapat Pimpinan, Kantor BSSN, Ragunan Jakarta. Bapak Ka. BSSN didampingi oleh Bapak Marsma TNI R. Tjahjo Khurniawan, S.T., M.Si (Deputi Bidang Strategi dan Kebijakan Keamanan Siber, Bapak Brigadir Jenderal TNI Bondan Widiawan, S.Kom., M.Si. (Deputi Bidang Operasi Keamanan Siber dan Sandi) dan beberapa pejabat fungsional lainnya. Yang terjadi bukan sekadar percakapan formal, tapi sebuah dialog yang hangat, terbuka, dan reflektif.

Tetap Sebagai Pembelajar
Beliau menjelaskan dengan jujur kompleksitas lanskap siber Indonesia: dari absennya dasar hukum yang kokoh, belum terbentuknya komando terpadu penanganan insiden, hingga ketertinggalan regulasi dari laju teknologi digital. Di sisi lain, masyarakat terus terpapar informasi yang tak utuh, sehingga lahir jurang antara maksud kebijakan dan pemahaman publik.
Yang paling membekas justru kesediaan beliau untuk mendengar. Bahwa seorang pejabat negara, dengan tanggung jawab strategis, memilih untuk duduk bersama seorang penulis, mendengarkan suara dari pinggiran sistem.
Menjalin Hubungan Lewat Nostalgia
Di tengah percakapan serius itu, terselip momen kecil yang tak kalah bermakna. Saat mengetahui saya berasal dari Banda Aceh, beliau tersenyum dan berkata, “Dulu saya sering nongkrong di Neusu dan bantaran sungai dekat Syiah Kuala.” Kalimat sederhana itu mengendap dalam benak saya. Bagi saya, itu bukan sekadar nostalgia. Saya yakin, pengalaman masa lalu itu erat kaitannya dengan tugas beliau saat menjadi intelijen militer. Dalam suasana santai, keakraban pun tumbuh, memperkaya dialog kami tentang hal-hal besar yang dibingkai oleh kisah kecil.

Sebagai kenang-kenangan, saya menghadiahkan buku Kedaulatan Data Digital untuk Integritas Bangsa, yang saya tulis saat mengikuti PPRA 65 Lemhannas RI. Sebuah simbol pertemuan pemikiran—antara idealisme sipil dan strategi pertahanan negara—yang saya harap akan berkontribusi dalam membentuk ruang digital Indonesia yang lebih tangguh dan berpihak pada kepentingan bangsa.
Pembelajaran Didapat
Pertemuan ini mengajarkan saya satu hal: jika kita menulis dengan niat baik, tulisan itu akan sampai. Di era siber ini, kata-kata bukan sekadar dokumentasi, melainkan alat perjuangan. Dan pemikiran yang jernih, disampaikan dengan integritas, selalu punya cara untuk menemukan telinga yang tepat.
Pertemuan ini bukan sekadar pengalaman personal. Bagi saya, ini adalah bukti kecil namun penting dari demokratisasi ruang kebijakan—bahwa di era digital, suara dari luar lingkaran kekuasaan pun bisa menjangkau dan memengaruhi pusat pengambilan keputusan. Ketika ide sipil didengar oleh negara, ketika tulisan yang lahir dari kegelisahan intelektual dibaca oleh pembuat kebijakan, maka ruang kebijakan tak lagi eksklusif. Ia menjadi medan dialog yang sehat antara pemikiran, pengalaman, dan tindakan.
Saya pulang membawa semangat baru. Harapan bahwa di tengah kebuntuan birokrasi dan kompleksitas sistem, masih ada pemimpin yang bekerja diam-diam, menjaga kedaulatan digital bangsa—bukan untuk tampil, tapi untuk memastikan masa depan tetap utuh.