Seorang analis siber menggunakan laptop dengan tampilan sistem digital kompleks di tengah kota futuristik, merepresentasikan urgensi RUU KKS dan pendekatan Omnibus Law dalam mengatur keamanan siber nasional.Ilustrasi visualisasi dunia siber: Fragmentasi sistem digital tanpa regulasi terpadu menunjukkan urgensi pengesahan RUU KKS melalui pendekatan Omnibus Law.

RUU KKS dengan pendekatan Omnibus Law perlu segera dipertimbangkan sebagai strategi legislasi untuk mengatasi regulasi siber Indonesia yang tercerai-berai. RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) telah lama dinanti sebagai tonggak penguatan pertahanan nasional di ruang digital. Namun hingga kini, pembahasannya masih berjalan lambat karena kompleksitas lanskap regulasi sektoral yang belum tersatukan dalam satu kerangka hukum yang kokoh untuk menghadapi dinamika ancaman siber yang kian meluas.

Baca Juga: Tanpa Doktrin, Ruang Siber Jadi Lahan Tak Bertuan

Dalam situasi ini, pendekatan omnibus law layak dipertimbangkan sebagai strategi legislasi yang tidak hanya praktis, tetapi juga mendasar. Ia memungkinkan kita menyatukan berbagai ketentuan hukum yang tersebar, menyelaraskan norma-norma yang saling tumpang tindih, dan membentuk sistem yang terkoordinasi di bawah satu kerangka hukum nasional.

Baca Juga: Undang-undang sapu jagat

Fragmentasi Regulasi dan Absennya Komando Siber


Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki struktur komando tunggal dalam urusan keamanan siber nasional. Ketiadaan single national command structure membuat banyak institusi bekerja sendiri-sendiri berdasarkan dasar hukum yang berbeda-beda—dan sering kali saling tumpang tindih atau bahkan bertentangan.

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) (yang diubah untuk kedua kalinya menjadi UU No 1 Tahun 2024) mengatur soal keamanan sistem elektronik, tetapi tidak menyentuh aspek pertahanan nasional. UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara hanya menyebut “ancaman nonmiliter” secara umum, tanpa spesifikasi domain siber sebagai medan tempur baru. Sementara Perpres 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) fokus pada tata kelola digital, bukan pertahanan terhadap serangan siber lintas-negara. Di sisi lain, UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) justru lebih menekankan pada perlindungan hak individu dan pengendali data, bukan ancaman terhadap kedaulatan negara.

Baca Juga: Sipil dan Militer Dalam Penjagaan Ruang Siber

Kondisi ini menciptakan situasi yang sering digambarkan sebagai “overlapping regulation dengan ego sektoral tinggi.” Akibatnya, respons negara terhadap insiden siber berskala besar menjadi lamban, terpecah, dan tidak solid. Tidak ada orkestrasi nasional yang dapat memastikan bahwa setiap komponen negara bergerak dalam satu irama ketika serangan terjadi.

Omnibus Law: Jalan Hukum untuk Ketahanan Siber Nasional

Pendekatan omnibus law menawarkan kerangka hukum untuk menyatukan norma-norma yang selama ini tercerai. Dasar hukumnya kuat: UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara eksplisit mengakui pendekatan omnibus sebagai metode legislasi yang sah. Pasal 42A ayat (1) menyebutkan bahwa penggunaan metode omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.

Dengan pendekatan ini, RUU KKS berpeluang untuk secara sistematis mengubah atau menyisipkan ketentuan-ketentuan penting ke dalam berbagai undang-undang yang selama ini berdiri sendiri, seperti UU ITE, UU SPBE, UU PDP, UU Pertahanan Negara, hingga UU TNI. Langkah ini akan membentuk fondasi hukum yang lebih kohesif dan terintegrasi. Lebih dari itu, pendekatan omnibus memungkinkan terbentuknya satu sistem nasional yang menyatukan fungsi deteksi, respons, dan pemulihan terhadap serangan siber, yang selama ini tersebar di berbagai institusi dengan kewenangan yang tumpang tindih. Pendekatan ini juga memberikan ruang bagi negara untuk menetapkan satu struktur komando siber nasional yang jelas dan memiliki legitimasi lintas sektor, serta merancang sistem interoperabilitas antara unsur sipil dan militer dalam konteks pertahanan digital secara lebih terpadu dan strategis.

Baca Juga Komando Krisis Siber: Indonesia Perlu Bergerak Cepat

Pendekatan ini bukan hanya membuka ruang harmonisasi peraturan, tetapi juga memungkinkan konvergensi kelembagaan dan pemaduan fungsi antar kementerian dan lembaga, yang selama ini bekerja secara parsial.

Momen Menyatukan yang Tercerai

Ruang siber tidak mengenal batas yurisdiksi administratif. Justru karena itu, regulasi yang tersekat-sekat akan menciptakan titik-titik lemah di tengah ekosistem digital nasional. Di era Crime-as-a-Service seperti sekarang, pelaku serangan tidak lagi memerlukan keahlian teknis tinggi—cukup menyewa layanan di pasar gelap, mereka sudah bisa melumpuhkan layanan publik, mencuri data, atau menyusup ke infrastruktur kritikal negara.

Bernard Marr dalam Forbes (13 Juni 2025) menegaskan: “Cyberattacks are no longer limited to tech-savvy groups. With Crime-as-a-Service, the bar is lower, the scale is wider, and the threats are more unpredictable.”

Dalam situasi seperti ini, lembaga teknis seperti BSSN atau Kominfo saja tidak akan cukup. Indonesia membutuhkan kepemimpinan strategis yang mampu melihat ancaman siber sebagai bagian dari pertahanan nasional. Untuk itu, kita tidak hanya membutuhkan regulasi sektoral, tetapi kerangka hukum terpadu yang memayungi semua entitas strategis di ruang digital.

Baca Juga Perang Iran-Israel di Ruang Siber: Pelajaran untuk Indonesia

Menyusun Ulang Doktrin Pertahanan Digital

Yang lebih mendasar, pendekatan omnibus membuka peluang untuk menyusun ulang doktrin pertahanan digital nasional. Kita tidak sedang bicara soal penambalan teknis semata, melainkan soal bagaimana negara ini mendefinisikan dirinya dalam menghadapi ancaman masa depan. Banyak serangan siber tidak bisa lagi diperlakukan sebagai kejahatan biasa. Mereka menyentuh ranah intelijen asing, destabilitas politik, perang kognitif, dan bahkan sabotase terhadap legitimasi negara.

Dengan RUU KKS sebagai landasan, kita dapat merumuskan ulang hubungan antara hukum, pertahanan, dan teknologi. Ini mencakup desain ulang sistem komando, sistem interoperabilitas sipil-militer, hingga mekanisme darurat digital yang sebanding dengan status darurat sipil dalam konstitusi. Jika peluang ini tidak dimanfaatkan, kita hanya akan mengulang pola penanganan yang reaktif, sektoral, dan selalu terlambat dari dinamika eskalasi ancaman.

Baca Juga Trump Tetapkan Executive Order Siber, Kapan Indonesia?

Menuju Kedaulatan Digital yang Tangguh

RUU KKS dan Omnibus Law harus dilihat sebagai lebih dari sekadar produk hukum. Ia harus menjadi kerangka arsitektur strategis untuk membangun kedaulatan digital Indonesia. Pendekatan ini bukan jalan pintas, melainkan jalan lurus menuju sistem hukum yang utuh, adaptif, dan tahan banting terhadap disrupsi masa depan.

Jika kita gagal menyatukan regulasi hari ini, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan ruang siber Indonesia tetap menjadi medan tempur tanpa komando. Sebaliknya, jika RUU KKS dan Omnibus Law berhasil dibangun secara integratif dan futuristik, maka kita tidak hanya memperkuat pertahanan digital negara—kita sedang memperkuat fondasi eksistensi bangsa di abad informasi.

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *