Kolaborasi sipil militer siber dimulai dari analisis data dan pengawasan ruang digital.Kolaborasi sipil militer siber dimulai dari analisis data dan pengawasan ruang digital.

PENJAGAAN ruang siber di era digital bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga melibatkan aktor sipil dan militer dengan kewenangan berbeda. 

Dalam dinamika geopolitik modern, ruang siber telah menjadi arena strategis. Ruang ini tidak hanya melibatkan keamanan data dan informasi. 

Kini kita dapat melihat insiden di ruang ini telah memberikan dampak pada stabilitas politik, ekonomi, dan kedaulatan negara. 

Brigjen TNI Frega Inkiriwang (Jubir Kemenhan) menyatakan TNI tak berperan memata-matai rakyat di ruang siber (Kompas.com, 27/03/2025). Pernyataan ini menjadi momentum refleksi penting untuk memahami peran aktor negara dalam menjaga ruang siber nasional. 

Beliau menggarisbawahi bahwa operasi informasi dan disinformasi di ruang siber akan dilakukan untuk menanggulangi ancaman terhadap kedaulatan negara. 

Operasi ini ditujukan terutama terhadap pihak-pihak yang bermaksud melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah. 

Pernyataan ini memunculkan diskusi menarik terkait pemisahan peran antara keamanan siber (cybersecurity) dan pertahanan siber (cyber defense) di Indonesia. 

Sebagai refleksi atas pernyataan tersebut, kita perlu menempatkan peran aktor negara dalam ruang siber secara proporsional. Caranya adalah memastikan strategi nasional di bidang siber selaras dengan prinsip supremasi sipil dan demokrasi. 

Keamanan Siber Vs Pertahanan Siber: Dua domain berbeda 

Teori Klasik Samuel Huntington dan Morris Janowitz menekankan pentingnya pemisahan sipil-militer untuk menjaga supremasi sipil. 

Namun, Rebecca L. Schiff melalui Concordance Theory menawarkan perspektif yang lebih integratif. 

Pendekatan serupa dapat diterapkan dalam konteks keamanan dan pertahanan siber nasional. Keamanan siber melindungi sistem informasi sipil dari ancaman non-strategis, seperti peretasan, ransomware, dan manipulasi data. 

Sementara itu, pertahanan siber menghadapi ancaman berskala besar yang dapat melumpuhkan infrastruktur kritis nasional dan mengguncang stabilitas negara. 

Galinec et. al. (2017) menunjukkan bahwa keamanan siber mencakup berbagai tindakan defensif maupun ofensif untuk melindungi sistem informasi digital dan aset kritis nasional. 

Kewenangan Sipil dan Militer dalam Ruang Siber di Manca Negara

Di sisi lain, keamanan siber berfokus pada pencegahan, deteksi, dan respons cepat terhadap ancaman guna melindungi infrastruktur kritis. 

Dalam pertahanan siber nasional, operasi informasi ditujukan untuk melawan propaganda asing dan menghalau disinformasi. Tujuannya adalah melindungi kepentingan strategis negara.

Amerika Serikat melalui US Cyber Command (USCYBERCOM) dan Israel lewat Unit 8200 memanfaatkan operasi informasi siber. Langkah ini menjadi bagian dari strategi pertahanan mereka.

Namun, dalam konteks domestik, operasi informasi yang menyasar masyarakat sipil menimbulkan masalah. Upaya memengaruhi opini publik di dalam negeri bertentangan dengan prinsip supremasi sipil. Operasi semacam ini berpotensi melemahkan supremasi sipil dan membahayakan demokrasi. 

Jika operasi informasi siber diarahkan untuk menghadapi ancaman strategis dari aktor asing yang berupaya mengguncang stabilitas nasional, maka hal tersebut masuk dalam domain pertahanan siber yang menjadi ranah Kementerian Pertahanan dan institusi keamanan strategis.

Namun, jika operasi tersebut menargetkan opini publik domestik atau bertujuan mengendalikan persepsi masyarakat di dalam negeri, maka hal ini masuk dalam ranah keamanan siber yang dikelola oleh BSSN dan Kominfo. 

Ruang Siber dan Demokrasi

Supremasi sipil memastikan bahwa pengelolaan informasi publik berada di bawah kendali sipil. Hal ini dimaksudkan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. 

Dalam konteks demokrasi digital, supremasi sipil berfungsi sebagai benteng utama untuk mencegah dominasi aktor militer dalam ranah informasi domestik, memastikan bahwa pengendalian informasi tetap berada di tangan otoritas sipil yang transparan dan akuntabel. 

Transparansi informasi juga memegang peran penting dalam menjaga stabilitas ruang siber. Pengelolaan informasi yang dilakukan secara terbuka dan transparan akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, mengurangi potensi manipulasi informasi, dan mencegah disinformasi yang dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial. 

Selain itu, pengawasan demokratis menjadi kunci untuk memastikan bahwa operasi informasi yang menyasar opini publik tetap berada dalam koridor hukum dan diawasi oleh otoritas sipil. 

Tanpa pengawasan ketat, operasi semacam ini berpotensi disalahgunakan, melemahkan supremasi sipil, dan membahayakan fondasi demokrasi. 

Oleh karena itu, supremasi sipil, transparansi informasi, dan pengawasan demokratis harus berjalan seiring guna menjaga integritas ruang siber nasional. 

Regulasi Keamanan dan Pertahanan Siber di Indonesia

Untuk memperjelas batasan kewenangan, penting merujuk pada regulasi yang mengatur keamanan siber dan pertahanan siber di Indonesia. 

Keamanan siber diatur melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kemudian direvisi melalui UU No. 19 Tahun 2016. 

Selain itu, Perpres No. 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) memberikan mandat kepada BSSN untuk mengawasi keamanan siber di sektor sipil, memastikan pengelolaan informasi publik berada di bawah kendali sipil guna menjaga transparansi dan akuntabilitas. 

Di sisi lain, pertahanan siber iatur melalui UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menegaskan bahwa pertahanan negara mencakup semua aspek, termasuk ruang siber.

 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI juga mengatur Operasi Militer Selain Perang (OMSP), di mana institusi pertahanan dapat berperan dalam menghadapi ancaman non-militer, termasuk ancaman siber yang bersifat strategis dan berpotensi mengguncang stabilitas nasional. 

Membatasi peran militer di ranah siber sipil 

Dengan pemisahan regulasi ini, keamanan siber tetap berada di ranah sipil dengan pengawasan oleh BSSN dan Kominfo, sementara pertahanan siber menjadi bagian dari pertahanan negara di bawah kewenangan Kementerian Pertahanan dan TNI. 

Pemisahan peran ini penting agar pengelolaan informasi publik dan keamanan digital nasional berjalan secara proporsional, memperkuat supremasi sipil, serta menjaga stabilitas dan keamanan negara di era digital. 

Dalam menjaga kedaulatan digital nasional, kolaborasi antara aktor sipil dan militer harus berjalan seimbang dan harmonis. 

Kementerian Pertahanan dan institusi strategis perlu fokus pada pertahanan siber strategis untuk menghadapi ancaman eksternal. 

Sementara BSSN dan Kominfo harus tetap memegang kendali keamanan siber nasional dan pengelolaan informasi publik dalam negeri. 

Dengan menjaga batas kewenangan ini, Indonesia dapat memperkuat kedaulatan digital tanpa mengorbankan prinsip supremasi sipil dan demokrasi. 

Menjaga ruang siber dalam konteks demokrasi digital berarti menjaga keseimbangan antara keamanan siber sipil dan pertahanan siber strategis. 

Indonesia harus memastikan bahwa operasi informasi di ruang siber dikelola dengan hati-hati dan transparan, di bawah pengawasan yang akuntabel dan sesuai dengan konstitusi. 

\”Kedaulatan digital hanya dapat terwujud jika ada keseimbangan antara pertahanan siber yang dikelola militer dan keamanan siber yang dikendalikan oleh otoritas sipil.\”

Artikel ini sudah dimuat di Kolom Kompas, klik di sini

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *