Wawasan Nusantara Digital dalam Konektivitas Global dan Keamanan SiberVisualisasi Wawasan Nusantara Digital yang menekankan pentingnya kedaulatan data dan jalur konektivitas strategis Indonesia di tengah arus perdagangan global dan eskalasi ancaman geokognitif.

Bagi generasi kami yang dibentuk melalui penataran P4—Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila—Wawasan Nusantara adalah doktrin dasar kebangsaan. Ia menanamkan gagasan bahwa Indonesia adalah satu kesatuan utuh: wilayah, rakyat, dan cita-cita nasional. Namun dalam praktik kekuasaan, ia sering dijadikan alat homogenisasi daripada alat pembebasan. Kini, dalam menghadapi ancaman geokognitif dan disrupsi digital, penting untuk menafsir ulang konsep tersebut sebagai Wawasan Nusantara Digital, yang perlu diperkuat melalui instrumen regulatif seperti RUU KKS. Namun dalam praktik kekuasaan, ia sering dijadikan alat homogenisasi daripada alat pembebasan.

Setelah Reformasi, Wawasan Nusantara tidak dihapus, tetapi kehilangan daya hidup. Dunia berubah cepat, namun cara pandang kita tetap terpaku pada batas fisik. Padahal, ancaman kedaulatan saat ini bukan lagi invasi militer, melainkan gangguan terhadap data, algoritma, dan kesadaran kolektif.

Untuk menjawab tantangan tersebut, kita perlu menafsir ulang Wawasan Nusantara—bukan lagi sebagai kesatuan geografis semata, tetapi sebagai kesatuan kesadaran dalam keragaman digital.

Baca juga: Batin Jadi Medan Perang

Dari Geopolitik ke Geoekonomi: Data sebagai Aset Kedaulatan


Dalam dinamika global yang semakin terdigitalisasi, kekuasaan tidak lagi bersumber dari dominasi teritorial. Saat ini, dominasi ditentukan oleh siapa yang mengendalikan infrastruktur digital dan arus informasi. Negara-negara besar tak lagi berebut tanah, melainkan berebut pengaruh ekonomi melalui diplomasi dagang, investasi strategis, dan penguasaan platform digital.

Indonesia turut berada dalam pusaran ini, namun kesiapan kita masih terbatas. Kita masih mengekspor bahan mentah, tetapi belum menguasai data sebagai komoditas strategis. Padahal, data menentukan arah industri, membentuk opini publik, dan menopang legitimasi politik. Presiden Joko Widodo bahkan pernah menegaskan bahwa “data lebih berharga daripada minyak.” Tanpa kedaulatan digital, kita akan terus rentan terhadap manipulasi ekonomi dan sosial.

Baca juga: Data Berkualitas untuk Reformasi Birokrasi

Lebih parah lagi, sebagian besar data warga Indonesia masih disimpan di luar yurisdiksi nasional. Akses, pengelolaan, dan monetisasinya pun berada di luar kendali kita. Dalam konteks ini, kedaulatan digital harus ditempatkan sebagai prasyarat utama dalam mempertahankan kedaulatan geoekonomi bangsa.

Namun kualitas data saja tidak cukup. Diperlukan pula akses, interoperabilitas, dan kontrol dalam negeri agar kita tidak hanya memiliki data, tetapi juga mampu mengelolanya secara berdaulat. Data harus menjadi sumber kepercayaan publik dan transparansi kebijakan—bukan sekadar alat digitalisasi administratif.

Dengan demikian, pergeseran dari geopolitik ke geoekonomi menuntut perubahan cara pandang nasional: dari perebutan wilayah fisik ke penguasaan sistem digital.

Baca Juga: Merespons Eskalasi Geoekonomi Digital

Era Geokognitif: Perebutan Pengaruh dalam Kesadaran Publik

Transformasi ini tidak berhenti di domain ekonomi. Kita kini memasuki era geokognitif—fase baru ketika perebutan pengaruh tidak lagi terjadi di wilayah geografis, melainkan di dalam kesadaran manusia. Yang diperebutkan bukan lagi tanah, melainkan cara berpikir dan merasa masyarakat.

Baca juga: Batin Jadi Medan Perang

Konsep ini mendapat penguatan dari berbagai literatur global. Dalam laporan Digital Sovereignty yang disunting oleh Esther Görnemann (2024) dari Weizenbaum Institute, ditegaskan bahwa negara modern harus menguasai tiga lapisan utama dalam ruang digital: infrastruktur, algoritma, dan data. Ketiganya membentuk ekosistem kekuasaan baru yang menentukan siapa yang berdaulat—bukan berdasarkan batas fisik, tetapi arsitektur kendali informasi.

Perspektif keamanan pun ikut berubah. NATO melalui doktrin cognitive warfare menempatkan kesadaran manusia sebagai domain strategis kelima—setara dengan darat, laut, udara, dan siber. Serangan tidak lagi datang secara fisik, melainkan melalui disinformasi dan infiltrasi narasi digital. Kajian Deppe dan Schaal (2024) menegaskan bahwa cognitive warfare bukan sekadar strategi militer, melainkan bentuk baru dari hegemoni global—di mana algoritma menjadi instrumen utama dalam membentuk opini publik dan menggeser nalar kolektif.

Baca juga: Trump Tetapkan Executive Order Siber, Kapan Indonesia?

Fenomena ini nyata kita rasakan setiap hari. Konflik hadir secara halus melalui notifikasi, algoritma, dan narasi digital. Media sosial dan mesin pencari tidak netral; mereka mengarahkan persepsi dan bahkan memecah masyarakat. Pikiran manusia menjadi wilayah strategis yang kini diperebutkan.

Ruang digital telah menjadi arena utama pembentukan dan penyusupan persepsi kolektif. Dalam banyak kasus, persepsi itu dikaburkan secara sistematis. Kita tidak hanya disuguhi data, tetapi diarahkan dalam memaknainya.

Baca juga: Pustakawan dan Geokognitif

Sayangnya, Wawasan Nusantara belum menjangkau wilayah ini. Ia masih terpaku pada aspek teritorial, belum menyentuh disorientasi informasi dan gangguan kesadaran. Padahal, inilah bentuk ancaman paling sunyi namun sistematis. Jika dulu kita menjaga batas fisik dari serbuan luar, kini kita harus menjaga kesadaran dari invasi narasi yang menyesatkan.

RUU KKS: Jawaban Regulatif atas Ancaman Geokognitif

Untuk menghadapi tantangan era geokognitif, kita tidak cukup hanya memperkuat doktrin. Kita juga memerlukan kerangka regulatif. Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) seharusnya dibaca sebagai upaya konkret negara untuk membentuk sistem pertahanan digital nasional yang berpihak pada kepentingan publik.

RUU ini tidak hanya menyangkut aspek teknis keamanan jaringan, tetapi juga harus memuat prinsip etika, pengendalian algoritma, serta perlindungan terhadap integritas kesadaran masyarakat dari manipulasi informasi.

Nasionalisme hari ini harus lahir dari literasi dan logika, bukan semata simbol dan seremoni.

Baca juga KKS Butuh Pendekatan Omnibus Law: Menyatukan Regulasi Siber yang Terpecah

Wawasan Nusantara Abad ke-21: Pilar Strategis Kebangsaan Digital

Kini saatnya Wawasan Nusantara Digital dihidupkan kembali—bukan sebagai slogan atau warisan simbolik, melainkan sebagai kerangka strategis kebangsaan yang mampu membaca zaman. Doktrin ini harus mencakup tiga dimensi kekuasaan kontemporer: geopolitik (wilayah), geoekonomi (data), dan geokognitif (kesadaran).

Kedaulatan tidak lagi cukup dipahami sebagai kendali atas tanah dan laut. Ia harus menjangkau ruang siber dan batin kolektif masyarakat. Kita membutuhkan sistem informasi yang mandiri, kebijakan digital yang etis, serta kurikulum pendidikan yang melatih warga untuk berpikir kritis dan merdeka.

\"Peta
Peta wilayah Indonesia dan sekitarnya dalam konteks Wawasan Nusantara

Salah satu bentuk nyata dari kehadiran Wawasan Nusantara dalam kebijakan digital nasional adalah pengesahan RUU KKS. Undang-undang ini bisa menjadi dasar hukum utama untuk menyatukan visi geopolitik, geoekonomi, dan geokognitif dalam pertahanan digital Indonesia. Dengan menyisipkan semangat Wawasan Nusantara ke dalam pasal-pasal RUU ini, negara tidak hanya menciptakan perlindungan teknis, tetapi juga membangun landasan etik dan strategis untuk melindungi cara berpikir dan hidup warganya di era digital.

Wawasan Nusantara versi abad ke-21 harus hadir dalam kebijakan digital nasional, prinsip etika teknologi, dan kerangka literasi publik yang membebaskan. Karena di tengah dunia yang dibentuk oleh persepsi dan algoritma, hanya bangsa yang menjaga kesadaranlah yang benar-benar berdaulat.

Pembaruan Wawasan Nusantara tidak boleh berhenti pada tataran gagasan. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan publik yang melindungi kesadaran, menjamin kontrol atas data, dan mengatur etika informasi.

Jika Wawasan Nusantara adalah fondasi ideologis, maka RUU KKS adalah perwujudan operasionalnya. Dengan menggabungkan keduanya, kita membangun bangsa yang berdaulat—bukan hanya atas tanah air, tetapi juga atas pikiran dan masa depannya.

Jika kita gagal menguasai kesadaran bangsa sendiri, jangan terkejut bila arah masa depan ditentukan oleh algoritma milik bangsa lain. Maka, semangat kebangsaan harus bertransformasi: dari sekadar menghafal nilai menjadi penguasaan atas kesadaran kolektif.

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *