ASN dalam Korupsi PDNS, Pusat Data Nasional Sementara, memperlihatkan tantangan baru dalam birokrasi digital kita. ASN hari ini hidup di tengah pusaran transformasi digital yang bukan lagi pilihan—melainkan arus utama birokrasi. Melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), negara mendorong integrasi layanan, efisiensi data, dan percepatan pelayanan publik. Namun demikian, pertanyaannya: apakah sistem birokrasi kita benar-benar siap?
Lebih jauh, keterlibatan ASN dalam korupsi PDNS memperlihatkan lagi dilema lama birokrasi Indonesia: mandat besar muncul sebelum sistem benar-benar siap. PDNS dibentuk sebagai solusi sementara karena Pusat Data Nasional (PDN) belum selesai. Tujuannya jelas, yaitu menjaga arah digitalisasi. Namun, pelaksanaannya membawa risiko: celah regulasi, ketergantungan vendor, dan potensi pelanggaran administratif.
Di Antara Loyalitas, Risiko, dan Ketidakpastian
Tulisan saya sebelumnya, “ASN dalam Dilema Seretan Korupsi” (Kumparan, 2023), membahas sisi gelap yang jarang disorot: ASN sering terjebak dalam tekanan struktural. Mereka diminta bekerja cepat tanpa cukup perlindungan saat harus mengambil keputusan etis. ASN bukan pembuat kebijakan, melainkan pelaksana yang menanggung risiko ketika sistem gagal melindungi.
Baca juga Hidup Adalah Pilihan, Korupsi Juga
Kini, dilema itu muncul dalam wajah baru: bagaimana menjalankan SPBE secepat mungkin saat perangkat hukum dan kelembagaan belum sepenuhnya siap? Haruskah menunggu sistem ideal, atau tetap bergerak di tengah ketidakpastian?
Inilah ketegangan yang sering luput dalam laporan resmi. Birokrasi menuntut kecepatan, tetapi berjalan di atas regulasi yang lamban. Di tengah kekosongan prosedural, niat baik justru bisa berubah menjadi bumerang. Akibatnya, ASN harus memilih: taat tapi tertinggal, atau bertindak tapi berisiko.
Karena itu, kita tidak boleh terus membiarkan ASN terjebak antara integritas dan efektivitas. Sebab, dalam ruang abu-abu inilah korupsi administratif sering muncul. Bukan karena niat jahat, melainkan karena sistem membiarkan ketidakpastian.
Tentu saja, saya tidak sedang membela penyimpangan. Siapa pun yang menyalahgunakan wewenang tetap harus diadili. Namun, publik perlu memahami bahwa dalam sistem yang tidak adaptif, niat baik bisa berubah menjadi risiko.
Pada akhirnya, reformasi digital tak cukup berhenti pada pembangunan infrastruktur. Yang dibutuhkan adalah ekosistem tata kelola yang memberi ruang aman untuk pengambilan keputusan cepat dan etis. Aturan harus jelas, tanggung jawab tidak boleh kabur, dan proses pengambilan keputusan perlu dilindungi secara institusional.
Menjadi ASN hari ini seperti berlari di atas rel yang masih dibangun. Tanpa dukungan sistem yang memadai, makin banyak ASN yang tersandung. Bukan karena korupsi terencana, melainkan karena niat baik yang salah tempat.