Ruang vakum yang memisahkan iman, ilmu, dan integritas pernah saya angkat dalam sebuah diskusi daring tentang korupsi bersama rekan-rekan intelektual lintas bidang. Anehnya, resistensi justru datang dari kalangan keagamaan. Bagi sebagian mereka, istilah ini terkesan menyiratkan kegagalan agama. Padahal, dalam aspek ini, yang saya pertanyakan bukan kebenaran iman—melainkan cara kita membiarkannya tidak bekerja dalam ranah sosial.
Saya menyadari betapa gagasan ini menyentuh sisi sensitif: bahwa nilai-nilai yang kita agungkan bisa saja kehilangan daya transformatif ketika tidak dihidupi secara utuh.
Daftar Isi:

Ketika Integritas Tersandung
Kekaguman saya pada seorang pemimpin daerah perlahan runtuh. Ia adalah sosok sederhana, alim, dan menjadi pengajar tetap di lembaga keagamaan.
Tapi kemudian, ia terseret dalam kasus korupsi. Ia bukan sekadar pejabat. Ia harapan banyak orang. Sayangnya, seperti banyak tokoh lain di dunia pendidikan dan agama, reputasinya tumbang di hadapan godaan kekuasaan.
Dan ia tidak sendiri. Kita juga melihat rektor perguruan tinggi, ustaz ternama, bahkan aktivis pendidikan yang terperosok dalam kasus serupa.
Mengapa ini bisa terjadi?
Bagaimana bisa seseorang yang fasih berbicara tentang akhlak ternyata ikut mengkhianatinya? Apa yang gagal kita tanamkan—dan lebih penting lagi—apa yang kita biarkan hilang?
Fenomena ini bukan sekadar kesalahan individu, tetapi gambaran nilai bersama yang gagal kita tanamkan.
Masyarakat kita kerap menyamakan gelar dengan kejujuran, kesalehan dengan integritas—padahal keduanya tidak identik. Ijazah bisa diraih tanpa keadilan, dan ibadah bisa dilaksanakan tanpa mempengaruhi laku hidup. Di sinilah ruang vakum itu lahir—di antara apa yang kita pelajari, kita yakini, dan kita lakukan.
Iman yang Terkikis oleh Korupsi
Korupsi dilakukan dengan sadar. Pembenarannya pun disiapkan: demi keluarga, demi proyek, demi jabatan. Dan saat akal mencari alasan, hati pun diam. Di titik inilah nilai moral menjadi aksesori—disimpan rapi, tetapi jarang dipakai.
Tak jarang pula seseorang memisahkan kesalehan pribadinya dari perilaku sosialnya. Ia terlihat sangat beriman pada ajaran agamnya, rajin beribadah, tekun berdakwah, tetapi tetap lihai dalam mengatur anggaran secara tidak etis. Sebab dalam pikirannya, spiritualitas dan kekuasaan berjalan di rel yang berbeda. Ketika dua dunia ini tak pernah dipertemukan, moralitas kehilangan cengkeramannya.
Pendidikan Moral dan Iman yang Kehilangan Arah
Dalam konteks ini, saya menyambut baik terobosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merilis Buku Saku Pendidikan Antikorupsi bagi Pemeluk Agama Islam (2020). Alih-alih memaksakan hafalan pasal dan dalil, buku ini menyampaikan nilai antikorupsi lewat narasi ringan dan reflektif. Ini bukan sekadar upaya edukatif, melainkan pendekatan yang menyentuh ruang batin—ruang yang selama ini jarang disentuh oleh model pendidikan hukum atau agama formal.
Namun, sebaik apa pun pendekatannya, ia akan gagal jika tak ditopang oleh lingkungan yang konsisten.k
Sekolah dan rumah ibadah lebih sering mengatur penampilan luar daripada membentuk kekuatan batin. Kita diajarkan tampil baik, bukan menjadi baik. Akibatnya, banyak karakter hanya penuh simbol—tanpa sikap yang kokoh.
Di lingkungan birokrasi, kondisinya tak kalah buruk. Seorang ASN yang idealis bisa berubah haluan hanya dalam beberapa bulan. Sebab sistem mengajarkan kompromi, bukan keberanian. Dalam budaya seperti itu, kejujuran bukan keutamaan, melainkan hambatan. Bahkan orang baik pun bisa kehilangan kompas.
Situasi ini bukan hanya terjadi dalam tataran nasional, tetapi juga tampak jelas dalam konteks daerah yang memiliki dasar keagamaan kuat.
Di Aceh, misalnya, saya sependapat dengan kritik Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Mujiburrahman. Ia pernah menyatakan bahwa penerapan syariat Islam yang terlalu bertumpu pada infrastruktur hukum telah gagal membentuk masyarakat yang adil dan bermartabat.
Tapi kita juga tahu, manusia belajar dari lingkungannya.
Seorang pejabat muda akan lebih cepat meniru gaya atasannya ketimbang mengingat isi ceramah etika. Ketika penyimpangan mulai dianggap sebagai hal yang wajar, maka kebenaran, pada akhirnya, akan tampak ganjil. Selanjutnya, jika yang terus-menerus dipuji adalah manipulasi, maka kejujuran pun akan terlihat sebagai sesuatu yang naif. Lebih dari itu, saat kompromi dijadikan panutan, maka sikap yang teguh dan berprinsip perlahan akan ditinggalkan.
Mengisi Ruang Kosong: Antara Harapan dan Keberanian
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia mencerminkan rusaknya jaringan nilai yang seharusnya kita pegang bersama.
Kitab suci dan ijazah pun tak bermakna tanpa keberanian moral.
Di sanalah sesungguhnya letak ruang vakum kita hari ini. Ruang yang tampak padat oleh gelar dan dalil, tetapi kosong dari pengamalan.
Kita biarkan ruang itu menganga. Ia memisahkan ilmu dari adab. Iman dari tanggung jawab. Pengetahuan dari kebenaran.
Kita mungkin merasa sedang melangkah maju. Padahal sebenarnya, kita hanya memperindah kebohongan yang terus berlangsung. Dan bila kita tak segera mengisinya—oleh keberanian, oleh keteladanan, oleh pendidikan yang hidup—agama dan pendidikan hanya akan menjadi panggung, bukan cahaya.
Tanpa keberanian dan keteladanan, kita bukan sedang melangkah maju—kita hanya mempercantik kebohongan.
Sudah dipublikasikan di Kumparan (10/05/2025): \”Ruang Vakum antara Iman, Ilmu, dan Integritas\”