Operasi tangkap tangan (OTT) pejabat di Sumatera Utara yang baru saja terjadi kembali menegaskan bahwa pengadaan barang dan jasa (PBJ) masih menjadi sektor paling rawan korupsi di Indonesia. Peneliti ICW Erma Nuzulia Syifa mengungkapkan, sepanjang 2019–2023 tercatat 1.189 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa dengan 2.898 tersangka. Temuan ini menegaskan bahwa PBJ masih menjadi ladang subur praktik suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang, menunjukkan perbaikan tata kelola belum cukup menutup celah korupsi.
Sayangnya, masalah PBJ bukan hanya soal celah sistem. Budaya permisif yang berkembang di banyak instansi dan masyarakat juga menjadi akar kuat yang membuat praktik korupsi terus bertahan.
| Baca juga: Hidup Adalah Pilihan, Korupsi Juga
Budaya Permisif: Ketika Gratifikasi Jadi Hal Biasa
Banyak pihak menganggap penerimaan “uang terima kasih” dari rekanan proyek sebagai hal lumrah. Asalkan penerima tidak secara terang-terangan meminta, gratifikasi ini dianggap sah. Pandangan ini bukan hanya salah, tetapi juga berbahaya karena menormalisasi korupsi dalam keseharian. Persepsi ini bahkan kerap dibungkus dalih agama. Hadiah dari vendor dipersepsikan sebagai “sedekah” atau “rezeki halal”. Padahal, Nabi Muhammad SAW dengan tegas bersabda:
| HR. Abu Dawud, Ahmad: “Hadiah bagi pegawai adalah ghulul (pengkhianatan)”
Fatwa fissilmi-kaffah.com pun menegaskan:
“Hadiah yang diterima pejabat karena tugas atau jabatannya adalah suap yang diharamkan, meskipun tidak diminta oleh penerima.”
Dalih “Berjasa”
Setelah budaya permisif dan pembenaran agama, muncul dalih lain yang sering digunakan. Pejabat merasa imbalan sah karena merasa telah “berjasa” membantu kelancaran proyek. Padahal, tugas pejabat negara justru memastikan PBJ berjalan baik demi kepentingan publik, bukan untuk keuntungan pribadi. Fraud Triangle Theory (Cressey, 1953) menjelaskan korupsi muncul dari tiga unsur: tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan pembenaran diri (rationalization). Dalam konteks PBJ, budaya permisif dan dalih “karena berjasa” adalah bentuk rasionalisasi yang memperkuat peluang korupsi.
Sementara itu, Principal-Agent Theory menggambarkan bahwa korupsi tumbuh ketika agen (pejabat/pegawai) menyalahgunakan mandat yang diberikan oleh prinsipal (rakyat/pemerintah) karena lemahnya pengawasan. Di PBJ, rentang kendali yang panjang mulai dari perencanaan, tender, hingga pengawasan justru membuka banyak celah penyimpangan.
| Baca juga: Korupsi: Ketika Iman, Ilmu, dan Integritas Terpisah Ruang Vakum
Hadiah Untuk Unit Kerja
Tak jarang pula hadiah diberikan dengan alasan mendukung kegiatan kantor, seperti perayaan HUT unit kerja. Namun, Pasal 12B UU Tipikor menegaskan: gratifikasi tetap ilegal meski dana digunakan untuk kebutuhan kantor, jika pemberian itu datang dari pihak yang memiliki kepentingan langsung. Praktik ini memperkuat budaya korupsi kolektif karena membuka ruang barter kepentingan dan melemahkan objektivitas pejabat., Hadiah untuk Kantor, dan Penjelasan Teori
Di sisi lain, pemerintah sebenarnya telah melakukan sejumlah langkah positif untuk menutup celah korupsi dalam PBJ. Penerapan e-procurement secara nasional melalui LPSE dan kebijakan e-catalog LKPP dirancang untuk meningkatkan transparansi. Sistem ini menutup peluang permainan harga dan mendokumentasikan setiap tahapan lelang. Upaya peningkatan kapabilitas pejabat pengadaan juga terus dilakukan melalui sertifikasi kompetensi, agar mereka memahami regulasi dan etika sejak awal. Pemerintah bersama KPK menyediakan aplikasi Gratifikasi Online (GOL) untuk memudahkan pelaporan hadiah yang diterima pejabat. Audit internal dan eksternal diperkuat melalui inspektorat dan BPKP. Namun, tantangan terbesar tetap pada komitmen untuk menindaklanjuti hasil audit.

Selain itu, kampanye publik anti-gratifikasi harus terus dilanjutkan melalui sosialisasi di kantor, media, hingga materi pembelajaran di sekolah dan kampus. Sistem whistleblower (WBS) dengan jaminan perlindungan bagi pelapor mutlak diperlukan agar budaya saling tutup mulut hilang. Namun semua itu hanya akan efektif jika pimpinan di setiap instansi memberikan keteladanan nyata. Mereka harus secara terbuka menolak gratifikasi. Sebab, tanpa perubahan pola pikir individu, sistem sebaik apapun hanya akan menjadi formalitas.
Dampaknya bukan hanya pada kerugian keuangan negara, tetapi juga kualitas pembangunan yang menurun, layanan publik yang memburuk, dan menipisnya kepercayaan rakyat pada pemerintah.
Penutup: Waktunya Mengubah Pola Pikir
OTT terbaru harus menjadi momentum bagi semua pihak—pemerintah, lembaga pendidikan, hingga masyarakat—untuk mengakhiri semua dalih dan pembenaran atas gratifikasi, sekecil apa pun. Anggaran negara adalah amanah publik yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Kita harus membangun budaya integritas yang tegas menolak gratifikasi. Hanya dengan demikian, PBJ akan berfungsi sebagai instrumen kesejahteraan, bukan ladang korupsi. Karena korupsi bukan hanya soal hukum, tetapi soal harga diri bangsa.