OTT pejabat Sumut menegaskan korupsi bukan sekadar kesalahan pimpinan. Bagaimana budaya birokrasi kita berkontribusi?Ilustrasi OTT KPK di lokasi proyek jalan, menegaskan proyek strategis rawan korupsi (dibuat dengan AI, bukan kejadian nyata)

OTT pejabat tinggi Sumatera Utara (Sumut) di awal masa pemerintahan baru menampar kesadaran kita semua. Apakah korupsi seperti ini hanya kesalahan pemimpin di puncak, atau justru cermin pilihan kita sendiri—sebagai warga yang permisif, birokrat yang kompromistis, dan sistem yang membiarkan?

Korupsi: Antara Pimpinan dan Kita

Penangkapan TOP, pejabat tinggi di lingkungan Pemerintah Sumatera Utara, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal Juli 2025 kembali menegaskan persoalan klasik yang tak kunjung usai. Korupsi terus menjerat pejabat strategis. Kasus ini menjadi sorotan nasional bukan hanya karena nilai proyeknya, tetapi juga karena proyek tersebut dikaitkan dengan kepemimpinan daerah dan mantan kepemimpinan nasional. Publik pun kembali dihadapkan pada pertanyaan lama: apakah korupsi seperti ini sepenuhnya kesalahan pemimpin tertinggi, atau hasil pilihan individu dalam birokrasi?

OTT ini menambah deret kasus korupsi yang berafiliasi dengan tokoh nasional. Dalam banyak diskusi publik, kemarahan langsung mengarah ke simbol politik di atas. “Lihat, ini buktinya kalau lingkaran elite pun tak lepas dari praktik rente!” Namun, meski kemarahan itu valid, kita juga perlu membedah bagaimana budaya birokrasi lokal, tekanan proyek strategis, dan kebiasaan kompromi memperbesar peluang terjadinya korupsi.

Baca juga: Korupsi karena Presiden atau Pilihan Kita Sendiri?

Integritas Pribadi Penangkal Korupsi

Selama ini, saya telah banyak menulis tentang pentingnya integritas sebagai kompetensi kepemimpinan. Bukan sekadar slogan moral. Tanpa teladan dan sistem yang menegakkan nilai, budaya kompromi akan tumbuh subur dalam birokrasi. Fenomena ini selaras dengan konsep institutional isomorphism. Orang dalam organisasi meniru pola dominan di sekitar mereka, termasuk kompromi yang dianggap wajar. Ketika ASN melihat bahwa \”orang dekat\” pemimpin memiliki privilege atau kebal hukum, nilai integritas pun runtuh.

Kasus TOP, pejabat tinggi Sumut, menunjukkan dilema tersebut. Proyek pembangunan yang ditanganinya merupakan prioritas strategis yang harus dijalankan cepat demi mendukung program pemerintah daerah. Namun, target ambisius ini justru menimbulkan tekanan bagi ASN. Dari sini celah terbuka. Untuk “memperlancar” proyek, kompromi mulai terjadi—seperti gratifikasi yang dibungkus “terima kasih” hingga fee proyek yang terstruktur.

Baca juga: Hidup Adalah Pilihan, Korupsi Juga

\"OTT
Seorang pejabat tinggi digiring ke kantor KPK terkait dugaan korupsi proyek strategis (dibuat dengan AI, hanya ilustrasi)

Korupsi dan Kebiasaan Masa Lalu

Dalam tulisan saya Naik Kelas: Metafora Praktik Korupsi di Indonesia, saya menegaskan bahwa praktik korupsi jarang muncul tiba-tiba. Ia berkembang bertahap. Pelanggaran kecil yang dibiarkan menjadi kebiasaan yang naik kelas ke skala besar. Gratifikasi yang awalnya kecil berubah menjadi kewajiban tak tertulis di setiap proyek bernilai miliaran. Ini bukan hanya tindakan individu, melainkan pola yang diterima banyak pihak sebagai hal “normal”.

Dari perspektif Fraud Triangle, korupsi terjadi saat tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi bertemu. Tekanan menuntaskan proyek strategis menjadi unsur dominan. Kesempatan muncul dari lemahnya pengawasan dan prosedur longgar. Sementara rasionalisasi dibangun dengan dalih “untuk percepatan pembangunan” atau “semua orang juga melakukannya.”

Baca juga:ASN dalam Dilema Integritas

ASN dihadapkan pada pilihan sulit: menolak arus dengan risiko terpinggirkan atau mengikuti praktik kompromi yang sudah mengakar. Dalam tekanan organisasi, batas moral bisa menghilang. Korupsi pun tak lagi tampak sebagai penyimpangan, melainkan “bagian dari sistem.” Posisi strategis yang dekat dengan lingkaran elite juga menimbulkan persepsi kebal hukum. Meskipun tidak terbukti ada perintah langsung dari pimpinan, keyakinan bahwa “atasan pasti membekingi” menjadi racun yang membunuh integritas ASN.

Baca juga: ASN dalam Dilema Seretan Korupsi

Menegakkan Integritas

Selain itu, integritas tidak cukup hanya diajarkan di ruang kelas atau dikampanyekan di spanduk birokrasi. ASN kita bisa saja terampil secara teknis, memahami aturan, bahkan aktif secara keagamaan. Namun mereka tetap permisif pada kebiasaan korupsi jika nilai integritas tidak terinternalisasi dalam budaya kerja.

Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2019 hingga 2023 tercatat sebanyak 1.189 kasus korupsi di sektor pengadaan publik, melibatkan 2.896 tersangka, dengan estimasi kerugian keuangan negara mencapai Rp47,18 triliun.

Mungkin kita bertanya: bukankah digitalisasi birokrasi seperti e-budgeting bisa menutup celah korupsi? Sayangnya, realitas tak sesederhana itu. Sistem digital hanya seefektif nilai yang ditanamkan. Algoritma persetujuan, dashboard otorisasi, hingga SOP elektronik tetap bisa diakali jika pelaksana tidak memiliki komitmen integritas. Kasus korupsi di Pemerintahan Sumut menunjukkan, meski tender sudah terdigitalisasi, fee proyek masih mengalir lewat jalur informal yang tak terekam sistem.

Baca juga: Kecerdasan Buatan dalam Reformasi Birokrasi

Penutup

Maka, sebelum menutup pembahasan, kita pun harus kembali ke pertanyaan awal: korupsi ini salah siapa? Jika kita hanya menunjuk ke atas, kita mengabaikan tanggung jawab yang ada di depan mata kita sendiri. Sebab integritas bukan hadiah dari presiden, gubernur, atau pejabat mana pun. Integritas hanya lahir jika kita, satu per satu, berani jujur di tengah tekanan—dan bersama membangun sistem yang tak memberi ruang bagi kompromi.

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *