Pengadaan PTN-BH USK (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum Universitas Syiah Kuala) kembali menjadi sorotan publik di tengah kompleksitas tata kelola perguruan tinggi berbadan hukum. Kasus pemutusan kontrak dan blacklist CV Jurongme Company oleh USK dinilai melanggar ketentuan Peraturan Presiden dan mengabaikan prinsip keadilan pengadaan (AJNN, 18 April 2025).
Baca juga Universitas Syiah Kuala Langgar Perpres dan Abaikan Keadilan Pengadaan
Di sisi lain, pihak rektorat menyatakan bahwa sebagai PTN-BH, USK berwenang menyusun dan menetapkan peraturan pengadaan tersendiri melalui Peraturan Rektor, yang dianggap sah dan sesuai kewenangan otonomi yang diatur (Website USK, 10 Juni 2025).
Baca juga USK Klarifikasi Persoalan Peraturan Pengadaan Barang/Jasa
Polemik ini mencerminkan bagaimana persoalan pengadaan PTN-BH tidak lagi sekadar urusan teknis administrasi, melainkan telah masuk ke wilayah sinkronisasi regulasi, disiplin tata kelola, serta ketegangan antara otonomi kelembagaan dan kepatuhan pada sistem regulasi nasional.

Otonomi PTN-BH: Kewenangan yang Ada Batasnya
Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2022, USK resmi menjadi PTN-BH. Otonomi kelembagaan kampus pun meluas, termasuk dalam pengelolaan keuangan dan pengadaan barang serta jasa, khususnya untuk dana non-APBN.
Pasal 92 ayat (3) memberi ruang bagi PTN-BH menyusun aturan pengadaan sendiri. Namun, kewenangan itu sifatnya pilihan, bukan keharusan. Dalam sistem administrasi negara, PTN-BH tetap tunduk pada hukum nasional.
Sepanjang pengadaan bersumber dari APBN atau APBD, aturan pengadaan nasional tetap wajib diikuti sepenuhnya. Bahkan pada dana non-APBN, prinsip pengadaan negara tetap berlaku: transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, dan non-diskriminasi. Otonomi memang ada, tetapi tetap dalam bingkai aturan hukum.
Friksi Regulasi: Sinkronisasi yang Kerap Tertunda
Dari pemberitaan pengadaan di USK di atas, saya menilai bagaimana tafsir otonomi dapat memunculkan friksi di lapangan.
Ada penambahan persyaratan tender yang tidak diatur dalam regulasi nasional. Ada pula perubahan dasar hukum pengadaan di tengah proses — dari Perpres ke regulasi internal kampus.
Akibatnya, pelaku usaha menjadi bingung, administrasi kampus tersendat, audit berisiko multitafsir.
Karena itu, sinkronisasi aturan pengadaan menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa keselarasan, sengketa administrasi, audit bermasalah, dan potensi penyimpangan tata kelola akan terus mengancam.
Belajar dari Swakelola: Problem Lintas Kelembagaan
Problem serupa bukan hanya terjadi di PTN-BH. Dalam pengelolaan swakelola pemerintah, tantangan sinkronisasi juga muncul.
Salah satunya saya temui dalam program KKN Literasi, kolaborasi perguruan tinggi dan Perpusnas yang memakai Swakelola Tipe II LKPP.
Menurut aturan LKPP, pencairan dana bisa dilakukan penuh 100% di awal kontrak. Namun, praktik di lapangan berbeda. Ketentuan perbendaharaan dan perpajakan tetap memotong pajak sebelum dana diterima penuh.
Ketika dana digunakan lagi untuk pengadaan barang atau jasa, pajak dipotong ulang. Akibatnya, dana yang sama terkena pemotongan ganda. Selama sinkronisasi fiskal dan pengadaan belum tuntas, situasi semacam ini akan sulit dihindari.
Artinya, sekali lagi problem sinkronisasi fiskal dan pengadaan sudah meluas dan terjadi di lintas lembaga. Ini lah yang menjadi motivasi artikel ini ditulis sebenarnya.
Kita kembali lagi kepada masalah pengadaan di USK PTN-BH.
Akar Masalah: PTN-BH Bukan Regulator Pengadaan
Lalu, kenapa masalah ini berulang?
Sederhana: PTN-BH sejatinya bukan regulator pengadaan.
Fokus utama kampus adalah pendidikan, riset, dan pengembangan SDM. Pengadaan hanyalah fungsi administratif pendukung. Biasanya ditangani Unit Layanan Pengadaan (ULP) atau pejabat pengadaan internal, dengan sumber daya terbatas.
Sebaliknya, LKPP memang didesain menjadi regulator pengadaan nasional. Mereka memiliki:
Sementara itu, PTN-BH nyaris tidak punya unit riset regulasi pengadaan yang kuat. Bila terus dipaksa menyusun aturan sendiri, risikonya: regulasi cepat tertinggal, sulit menyesuaikan perkembangan, dan rawan multitafsir saat audit.
Integritas: Fondasi Tata Kelola yang Tak Boleh Runtuh
Namun, regulasi saja tidak cukup. Integritas tetap menjadi fondasi utama.
Sebagus apapun aturannya, bila integritas longgar, celah penyimpangan tetap terbuka.
Dalam semua skema pengadaan — Perpres, aturan internal, maupun swakelola — budaya integritas menentukan keberhasilan.
KPK lama mengingatkan lewat model GONE: Greed, Opportunity, Need, Exposure. Bila pengawasan longgar dan peluang terbuka, penyimpangan mudah terjadi.
Otonomi PTN-BH justru bisa memperlebar celah ini. Semakin luas otonomi, semakin besar risiko penyimpangan jika pengawasan internal lemah. Tanpa pengawasan independen, otonomi bisa berubah menjadi kekosongan pengawasan.
Baca juga “Naik Kelas”, Metafora Praktik Korupsi di Indonesia
Rekomendasi: Tata Kelola Konsisten dan Adaptif
Karena itu, beberapa solusi penting perlu segera diterapkan:
Opsi mengikuti LKPP. PTN-BH harus diberi keleluasaan penuh untuk mengikuti sistem PBJ nasional LKPP. Aman secara hukum dan audit.
Pembinaan regulasi internal. Bila kampus tetap menyusun aturan sendiri, pembinaannya harus dikawal LKPP dan kementerian terkait.
Perkuat APIP kampus. Pengawas internal perlu diperkuat secara profesional dan substansial.
Tingkatkan kapasitas SDM pengadaan. Pejabat pengadaan kampus harus terus update atas perkembangan regulasi dan teknologi pengadaan.
Penutup: Otonomi Harus Disertai Tanggung Jawab Pengawasan
Otonomi PTN-BH penting untuk memperkuat pendidikan tinggi. Tapi pengadaan tetap bagian dari administrasi publik yang tunduk pada hukum negara.
Kalau marwah pendidikan tinggi ingin dijaga, pengadaan harus dikelola secara transparan, profesional, dan adaptif.
Di sinilah peran LKPP menjadi strategis. LKPP menjaga agar otonomi kampus tetap berjalan dalam koridor hukum, sekaligus memberi ruang kampus fokus menjalankan mandat utamanya: mengembangkan ilmu pengetahuan.