Pria Aceh mengenakan songkok dan batik sedang bekerja di komputer dalam suasana kantor modernBirokrat Aceh dengan pakaian tradisional di ruang kerja modern, mencerminkan semangat birokrasi digital yang bersih dan islami

Artikel Marthunis ST, DEA, Kepala Dinas Pendidikan Aceh, berjudul “Mewujudkan Pendidikan Aceh Berintegritas” (Serambi, 29/3/2025), menjadi refleksi penting. Integritas bukan sekadar slogan, tetapi aksi nyata yang menuntut keberanian, konsistensi, dan komitmen tinggi.

\"Pejabat

Zona Integritas dan Awal Reformasi Birokrasi Aceh

Langkah beliau dalam menerapkan Zona Integritas (ZI) di Dinas Pendidikan Aceh bukan sekadar capaian administratif. Ia juga membangun sistem pengaduan terbuka dan pengawasan publik yang memperkuat transparansi dan akuntabilitas.

Meski demikian, tantangan struktural seperti penyalahgunaan wewenang dan lemahnya pengawasan masih menjadi hambatan dalam mewujudkan birokrasi yang bersih.

Langkah Marthunis seharusnya menjadi preseden positif bagi seluruh Satuan Kerja Perangkat Aceh atau organisasi pemerintah daerah (SKPA)/OPD di Aceh.

Meskipun perlu diakui bahwa perluasan zona integritas (ZI) akan menghadapi resistansi yang disebabkan oleh kesadaran aparatur tentang pentingnya pengawasan digital.

Oleh karena itu, penguatan sistem pengawasan publik berbasis teknologi menjadi langkah krusial. Tujuannya adalah mewujudkan tata kelola pemerintahan yang berintegritas, sejahtera, dan demokratis.

Sinergi nilai islami dan reformasi birokrasi

Mewujudkan Visi Aceh Islami dalam Tata Kelola

Upaya Marthunis selaras dengan visi pemerintahan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek Fadh) yang memimpin Aceh selama periode 2025–2030: “Terwujudnya Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan.”

Visi ini bertumpu pada transformasi tata kelola dan penguatan implementasi hukum. Tantangan ke depan adalah bagaimana menerjemahkan nilai-nilai islami ke dalam sistem birokrasi dan layanan publik secara konsisten—mewujudkan aparatur muslim yang berintegritas (moslem integrity).

Integrasi Nilai-Nilai Islam ke dalam Reformasi Digital

Menurut Adinda et. al. (2022), tata kelola Islam idealnya dibangun di atas prinsip al-‘adl (keadilan), al-shafafiyah (transparansi), al-mas’uliyah (akuntabilitas), dan al-syura (musyawarah).

Jika prinsip ini diintegrasikan ke dalam proses digitalisasi pemerintahan, maka Aceh berpeluang besar membangun birokrasi yang bersih, profesional, dan berkelanjutan, bahkan menjadi model nasional tata kelola islami berbasis digital.

Pemerintah pusat telah menetapkan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025 melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010, yang menjadi pedoman bagi seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik serta mewujudkan birokrasi yang profesional, berintegritas tinggi, dan berorientasi sebagai pelayan publik sekaligus abdi negara.

Selanjutnya, reformasi birokrasi diperkuat dengan penajaman peta jalan Reformasi Birokrasi 2020–2024, yang salah satunya tecermin dalam terbentuknya budaya birokrasi BerAKHLAK (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) dengan ASN yang profesional.

Baca juga Reformasi Birokrasi Tanpa Arah: Jadinya Mesin Kosong

Penerjemahan Nilai BerAKHLAK ke dalam Praktik Islami

Untuk melengkapi agenda reformasi birokrasi, pemerintah menginisiasi sejumlah program penunjang, yakni pengembangan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) melalui Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018, Satu Data Indonesia (SDI) melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019, serta Arsitektur SPBE melalui Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2022.

Ketiganya menjadi instrumen strategis dalam mewujudkan birokrasi yang efisien, antikorupsi, dan terintegrasi.

Selanjutnya, dapat kita telaah bagaimana nilai-nilai islami sebagaimana dikemukakan oleh Adinda et al. (2022) terinternalisasi dalam kebijakan reformasi birokrasi sehingga menjadi model untuk penerapan di Aceh.

Untuk komponen nilai BerAKHLAK, nilai Berorientasi Pelayanan mencerminkan semangat al-‘adl, di mana keadilan sosial menjadi dasar dalam memperlakukan masyarakat sebagai pemilik layanan publik.

Akuntabel sejalan dengan al-mas’uliyah, yaitu prinsip pertanggungjawaban setiap tindakan aparatur di hadapan masyarakat dan Tuhan.

Kompeten dapat dikaitkan dengan amanah dalam Islam, yang mewajibkan kemampuan dan keahlian sebagai syarat dalam menjalankan tanggung jawab.

Harmonis selaras dengan nilai al-syura, di mana suasana kerja yang rukun dan inklusif menciptakan ruang untuk musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan.

Loyal mencerminkan kesetiaan terhadap amanah jabatan dan integritas moral dalam melayani masyarakat, yang merupakan inti dari nilai keislaman.

Adaptif menunjukkan keterbukaan terhadap perubahan dan inovasi yang membawa kemaslahatan, sebuah semangat yang juga terkandung dalam ijtihad. Sementara Kolaboratif memperkuat semangat al-syura dan ukhuwah (persaudaraan), yang mengedepankan kerja sama dalam mencapai tujuan bersama.

Dengan keselarasan nilai-nilai tersebut, Pemerintah Aceh sangat diharapkan dapat menerjemahkan budaya birokrasi BerAKHLAK ke dalam butir-butir nilai islami yang kontekstual dengan kearifan lokal.

Baca juga Ruang Vakum antara Iman, Ilmu, dan Integritas

Salah satu langkah nyatanya adalah membangun gerakan internalisasi BerAKHLAK yang terstruktur dan bermuatan nilai Islami.

Langkah ini akan mengefektifkan dan membumikan internalisasi BerAKHLAK di lingkungan birokrasi pemerintahan Aceh secara masif.

Integrasi Digital: SPBE, SDI, dan Arsitektur Berbasis Nilai Islam

Lebih jauh, kebijakan SPBE, SDI l, dan Arsitektur SPBE selaras dengan prinsip-prinsip tata kelola berlandaskan syariat di atas.

Melalui SPBE, layanan publik digital dirancang untuk saling terhubung dan interoperable. Maksudnya adalah untuk mencegah tumpang tindih kebijakan dan mempercepat pelayanan.

Hal ini merupakan bentuk nyata penerapan al-shafafiyah dan al-mas’uliyah, di mana transparansi dan pertanggungjawaban menjadi fondasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Sementara itu, Satu Data Indonesia (SDI) mendukung pengambilan keputusan berbasis data yang lebih akurat dan berkeadilan (al-‘adl). SDI jug akan memperkuat pemanfatan sumber daya (data) secara merata.

Baca juga Data Berkualitas untuk Reformasi Birokrasi

Dengan demikian, ruang partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan proses kebijakan akan lebih terbuka.

Hal ini sejalan dengan nilai al-syura, yakni pelibatan publik dalam musyawarah dan pengambilan keputusan.

Adapun Arsitektur SPBE menjadi kerangka pengatur integrasi layanan dan aplikasi pemerintahan secara menyeluruh.

Arsitektur ini memastikan konsistensi arah pembangunan sistem digital nasional. Dalam konteks nilai islami, Arsitektur SPBE memperkuat al-mas’uliyah melalui standardisasi sistem dan pertanggungjawaban lintas sektor.

Selain itu, arsitektur ini juga mencerminkan al-‘adl dalam penyusunan layanan yang setara dan tidak tumpang tindih antarkementerian dan daerah.

Dengan mengharmonisasikan fitur-fitur SPBE, SDI, Arsitektur SPBE dengan nilai-nilai etika birokrasi islami, Aceh memiliki peluang untuk membangun birokrasi yang tidak hanya efisien dan modern, tetapi juga adil, transparan, dan bermartabat sesuai dengan identitas lokal dan syariat Islam.

Aceh sebagai pilar reformasi daerah

Gubernur Muzakir Manaf dengan Presiden Prabowo sebaiknya menjadi katalisator implementasi agenda reformasi birokrasi, bukan sekadar nostalgia politik. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat ekosistem pemerintahan di Aceh melalui adopsi kebijakan nasional yang sesuai dengan karakter lokal Aceh.

Alih-alih larut dalam ketidakpastian situasi nasional, Aceh harus tampil sebagai entitas yang tangguh dengan fondasi nilai-nilai lokal dan syariat Islam. Kearifan lokal, semangat perubahan, dan tekad pemerintahan baru adalah kekuatan internal yang cukup untuk menata ulang birokrasi secara independen dan berkelanjutan.

Dengan komitmen kuat, Aceh dapat menjadi pelopor reformasi birokrasi daerah, hal ini menunjukkan bahwa integritas dan pemerintahan islami berbasis digital bukan hanya idealisme, melainkan juga dapat diimplementasikan secara nyata dalam pelayanan publik. Dengan dukungan kebijakan pusat seperti SPBE, SDI dan Arsitektur SPBE, Aceh tidak hanya memperkuat integritas birokrasi, tetapi juga mempercepat pembangunan yang adil dan inklusif.

Namun, potensi Aceh sebagai pelopor reformasi akan sulit terwujud jika tidak ada konsistensi kebijakan lintas periode atau jika integritas dikorbankan demi kepentingan pragmatis jangka pendek.

Jika Aceh berhasil membuktikan bahwa nilai islami dan teknologi bisa berjalan beriringan dalam birokrasi, maka sejarah baru tata kelola daerah akan dimulai dari Serambi Makkah. (*)

Artikel ini telah tayang di SerambiNews

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *