Ilustrasi Reformasi Birokrasi Tanpa Arah melalui interaksi formal antara petugas publik dan warga di meja layanan pemerintahanPotret Reformasi Birokrasi Tanpa Arah: pelayanan publik yang tampak berjalan, namun tanpa kejelasan arah nilai.

Reformasi Birokrasi  di Indonesia memasuki momen penting di tahun 2025. Ini adalah tahun terakhir dari pelaksanaan Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional (GDRBN) 2010–2025, sekaligus awal dimulainya GDRBN 2025–2045 yang digadang-gadang akan membawa Indonesia  menuju birokrasi kelas dunia. Secara keseluruhan, visi ke depan cukup ambisius: menciptakan birokrasi yang kolaboratif, kapabel, berintegritas, dan berbasis kebutuhan masyarakat—melalui pendekatan berbasis manusia, tata kelola adaptif, serta transformasi digital yang berdampak.

\"\"

Janji Besar GDRBN 2025–2045: Visi Tanpa Kompas?

Lebih lanjut, MenPANRB  Rini Widyantini menyatakan bahwa GDRBN 2025–2045 akan menjadi tonggak penting dalam membangun pelayanan publik yang inklusif dan ekosistem birokrasi yang lincah. Pemerintah juga telah menyiapkan program strategis seperti Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKP), integrasi pelayanan digital, dan penguatan kolaborasi antarlembaga. Dengan demikian, rencana itu tampak menjanjikan dan wajib kita dukung bersama.

Namun pertanyaan mendasarnya tetap sama: ke mana sebenarnya arah reformasi ini membawa kita?

Refleksi Pribadi dan Krisis Nilai dalam Reformasi

Menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini lahir sebagai simpulan reflektif dari serangkaian pengamatan panjang saya terhadap reformasi birokrasi di Indonesia, sebagaimana telah saya uraikan dalam sejumlah artikel sebelumnya di Kumparan. Sejak menulis \”Birokrasi Pemerintahan sebagai Organisasi Pembelajaran\”, saya mulai menelisik bagaimana birokrasi tidak hanya soal prosedur, tetapi tentang mentalitas dan nilai yang hidup di dalamnya. Gagasan itu kemudian saya perdalam lewat tulisan tentang korupsi kecil, kecerdasan buatan, hingga ruang vakum antara iman, ilmu, dan integritas—semuanya meerlihatkan bahwa persoalan birokrasi bukan semata teknis, melainkan juga etis dan ideologis. Maka, opini ini tidak hadir tiba-tiba; ia merupakan kristalisasi dari kegelisahan yang konsisten: bahwa tanpa arah nilai, reformasi birokrasi hanya menjadi mesin kosong yang bergerak tanpa tujuan.

Meskipun begitu, sejak GDRBN dimulai pada 2010, kita telah melihat sejumlah capaian teknis: indeks reformasi meningkat, birokrasi makin digital, dan struktur makin efisien di atas kertas. Tetapi semakin panjang perjalanannya, semakin kabur pijakan nilainya. Kita punya peta jalan, tetapi belum punya kompas kebangsaan yang menuntun. Kita membangun sistem, namun lupa menegaskan nilai apa yang hendak dijaga oleh sistem itu.

Birokrasi yang baik tidak cukup hanya melayani dengan cepat dan efisien. Ia juga harus berpihak pada arah kebangsaan yang disepakati bersama. Ia bukan hanya pelaksana regulasi, tetapi penerjemah nilai dan ideologi negara. Tanpa arah nilai yang kokoh, birokrasi berubah menjadi mesin kosong, bergerak cepat tetapi tak pernah sampai.

Birokrasi Tanpa Kompas: Ketika Etika dan Merit Diabaikan

Di sisi lain, sistem merit telah dikembangkan, tetapi kerap dikorbankan oleh kepentingan instan. Rekrutmen terbuka masih bisa dilangkahi lewat jalur penunjukan. Struktur organisasi yang seharusnya ramping justru melebar karena akomodasi politik.

Di ruang pengambilan keputusan, saya melihat sendiri bagaimana pertimbangan emosional dan relasi tertentu kadang bisa mengalahkan logika kelembagaan. Rasanya seperti menyaksikan nilai dan sistem dibelokkan oleh bayang-bayang kepentingan yang seharusnya tidak ikut campur.

Dari situ saya belajar bahwa sistem bisa tampak berjalan baik, tetapi nilai di dalamnya bisa runtuh diam-diam.

Yang ironis, kita sering mengira bahwa dokumen seperti RPJPN atau visi Indonesia Emas 2045 sudah cukup menjadi arah strategis. Padahal semua itu adalah tujuan, bukan jalan. Visi bisa menjelaskan ke mana kita ingin pergi. Tetapi hanya kerangka nilai yang bisa menjelaskan bagaimana dan dengan prinsip apa kita akan sampai ke sana.

Padahal, Indonesia sebenarnya sudah memiliki kerangka itu. Astagatra adalah doktrin kebangsaan yang merangkum seluruh aspek strategis bangsa: dari geografi, demografi, kekayaan alam, hingga ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan. Namun dalam praktik birokrasi, Astagatra lebih sering hidup sebagai istilah dalam pelatihan, bukan sebagai acuan kerja nyata. Ia dikenang, tetapi tidak dihidupkan.

Belajar dari Dunia: Mereka Tahu Ke Mana Melangkah

Sementara itu, negara-negara besar tidak ragu menyatukan sistem birokrasi mereka dengan arah ideologis yang jelas. Amerika memadukan kebijakan ekonomi dan pertahanan. Tiongkok menstruktur ulang industrinya melalui visi Made in China 2025. India menyatukan kemandirian dan identitas melalui Atmanirbhar Bharat. Mereka tidak hanya efisien. Mereka tahu ke mana harus melangkah dan mengapa..

Kita berbeda. Sistem dibangun tanpa penegasan nilai. Layanan dipercepat tanpa kejelasan arah. Transformasi digital terus didorong, tetapi tak disertai etika dan keberpihakan. Bahkan kecerdasan buatan kini mulai masuk birokrasi tanpa pagar nilai. Saya sendiri pernah menyaksikan bagaimana sistem AI yang dilatih oleh data global bisa menyarankan kebijakan yang bertentangan dengan nilai bangsa Indonesia.

Baca juga Data Berkualitas untuk Reformasi Birokrasi

Akibatnya, inilah yang membuat reformasi birokrasi kita gamang. Ia terus bergerak, tetapi tak pernah benar-benar tumbuh. Ia makin cepat, tetapi makin tidak tahu apa yang harus dijaga. Tanpa arah, kita hanya mengelola prosedur. Tanpa nilai, kita hanya mengejar indeks. Dan tanpa kompas, birokrasi hanya menjadi mesin—bukan penopang peradaban.

Menjelang GDRBN 2025–2045, kita harus mengubah cara pandang. Bukan hanya bertanya soal capaian teknis atau angka indeks, tetapi juga bertanya: apakah birokrasi ini masih bekerja demi bangsa, atau sekadar demi sistem?

Oleh karena itu, Pancasila, Astagatra, dan Wawasan Nusantara bukan warisan yang usang. Mereka adalah fondasi yang seharusnya menjadi arah kerja birokrasi. Jika nilai-nilai itu tidak hidup dalam regulasi, perencanaan, dan pelayanan, maka reformasi hanya akan jadi proyek. Dan proyek selalu punya akhir.

Tapi bangsa dibangun bukan dari proyek. Bangsa dibangun dari nilai. Dan nilai tak akan bertahan jika tak dijaga oleh birokrasi yang tahu arah.

Maka, menjelang pelaksanaan GDRBN 2025–2045, pemerintah perlu menyusun kerangka nilai eksplisit sebagai fondasi semua transformasi birokrasi. Astagatra harus dilembagakan bukan hanya dalam materi pelatihan, tetapi juga dalam sistem akuntabilitas, SPBE, hingga ekosistem kecerdasan buatan publik. Kita perlu mengukur bukan hanya apa yang dilakukan birokrasi, tetapi dengan nilai apa ia melakukannya.

Taufiq A Gani
Author: Taufiq A Gani

Taufiq A Gani adalah penulis, peneliti, dan birokrat yang fokus pada isu-isu strategis seperti ketahanan siber, demokrasi pengetahuan, dan reformasi birokrasi digital. Ia meraih gelar Ph.D. di bidang Ilmu Komputer, dan telah mengikuti program kepemimpinan nasional strategis di LAN RI dan Lemhannas RI. Selain itu, ia memiliki kompetensi dan sertifikasi di bidang penjaminan mutu, keamanan informasi, serta penulisan dan penyuntingan karya ilmiah. Dengan pengalaman panjang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Taufiq terlibat aktif dalam pengembangan kebijakan transformasi kelembagaan dan penguatan ekosistem pengetahuan nasional. Sebagai pendiri dan editor reflek-if.id, ia menjadikan media ini sebagai ruang reflektif dan refleksif untuk menafsirkan peristiwa, membangun gagasan strategis, dan menyuarakan arah kebijakan publik dengan tajam, jernih, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *